Senin, 30 Juni 2014

Antara Aku, Kain Flanel, dan Keluarga

14.59 1 Comments
Sejak memutuskan pensiun dini dari sebuah BUMN, saya mulai mencari kesibukan di rumah. Soal hobi? Hmm…sepertinya saya nggak punya. Maksud saya, dulu waktu masih kerja, waktu dan pikiran habis untuk memikirkan pekerjaan * jiah…kayak yang punya perusahaan aja. Akhir pekan, paling hanya ngurus anak dan baca majalah atau buku.

Nah, setelah punya banyak waktu di rumah, saya mulai ikut pelatihan menulis. Saya juga mulai iseng-iseng membuat kerajinan dari bahan kain flanel. Kalau yang terakhir ini, modalnya cuma bisa tusuk feston (pelajaran waktu SMP) dan browsing sana sini. Maka sejak tahun 2010, saya punya dua hobi baru, yaitu menulis dan membuat kerajinan dari kain flanel. Kalau disuruh milih mana yang paling menyenangkan? Jawabannya adalah: dua-duanya.

Ngomong-ngomong soal kerajinan flanel, saya memang memulainya secara iseng-iseng. Beli kain 24 warna di sebuah online shop, trus bingung mau diapain. Hasil tanya-tanya Mbah Google…akhirnya kres…kres…kres… Abrakadabra! Jadilah aneka gantungan kunci dan kaleng tempat pensil. Karya perdana saya itu laku terjual. Yang beli teman-teman sekolah Nabila, putri sulung saya. Beruntung saya punya anak yang nggak malu jualan di kelas.

Suami yang kadang suka protes. Bukan nggak suka dengan hobi saya itu, tapi nggak suka dengan kebiasaan saya menyimpan peralatan “perang” di kamar tidur. Maklum lah namanya juga rumah dinas tentara, mana ada yang luas. Kecuali rumah dinas para Jendral, kali, hehehe…

Syukur alhamdulillah, akhirnya kami pulang kampung dan menempati rumah sendiri. Saya meminta suami agar diberi satu kamar khusus untuk “kantor” saya. Di ruangan seluas 3 x 3 meter inilah saya menyimpan koleksi buku-buku dan peralatan menjahit saya. Di sana pula saya menghabiskan waktu setiap hari. Kadang asyik di depan komputer, kadang asyik menjahit kain flanel. Saya dan ketiga anak saya biasa ngobrol di ruangan itu, bahkan sampai larut malam.

Sejak menempati “kantor” baru, saya mulai membuat boneka flanel. Berhari-hari saya membuat beraneka macam boneka anak-anak. Niatnya sih buat stok, siapa tahu ada yang ngajakin bazar, gitu * hehehe…mimpi boleh, kan. Apa daya, baru diupload di Facebook, sudah ada yang beli. Begitu juga dengan saudara dan teman-teman lama. Saat main ke rumah, begitu tahu saya bikin boneka flanel, langsung main ambil aja, “Sini, aku jualin bonekanya.” Alhamdulillah, ternyata laku. Menjelang bulan Ramadhan, saya sudah membuat toples flanel untuk persiapan Lebaran.

salah satu sisi ruang kerja saya

 Meski hobi ini mulai menghasilkan uang, saya belum ingin menjadikannya sebagai sumber mata pencaharian. Suami selalu mengingatkan, bahwa saya dulu resign karena ingin konsen mengurus keluarga. Jadi, saat suami atau anak-anak membutuhkan, saya harus selalu siap untuk mereka. Itulah sebabnya, kalau ada yang minta dibuatkan boneka, saya minta pengertian mereka, “Sabar, ya, nanti kalau sudah jadi dikabari.”

sebagian hasil kreasi saya

 Bagaimana pun, bagi saya urusan keluarga tetap nomor satu. Mini “kantor” ini adalah bukti cinta suami dan anak-anak pada saya. Artinya mereka mengijinkan saya tetap melakoni hobi saya. Dan saya harus membalas cinta mereka dengan cara mengutamakan mereka dibanding hobi saya. Walau kadang ketika sibuk mengutak-atik flanel atau dikejar deadline tulisan, tiba-tiba ada panggilan dari ke-4 bos saya itu, saya harus rela meninggalkan “dunia” saya yang mengasyikkan itu. Hiks… 

Tulisan ini dibuat dalam rangka mengikuti "3rd Giveaway : Tanakita - Hobi dan Keluarga "

Jumat, 20 Juni 2014

Lima Jam Bersama Raeni

10.10 7 Comments
Siapa yang tak mengenal nama Raeni? Hhmm, ketahuan, pasti nggak pernah baca atau dengar berita dalam seminggu belakangan ini. Oke, bagi yang belum tahu, saya kasih sedikit bocoran tentang gadis manis 21 tahun itu. Raeni adalah mahasiswi Unnes (Universitas Negeri Semarang) yang diwisuda tanggal 10 Juni 2014 dengan IPK 3,96. Yang membuatnya jadi headline news, pada saat acara wisuda, lulusan terbaik Unnes itu, datang diantar sang ayah dengan mengendarai becak.

ini foto di sebuah media

Ya, Pak Mugiyono, ayah Raeni memang berprofesi sebagai tukang becak sejak tahun 2010. Malam harinya beliau menjadi penjaga malam di SMKN 1 Kendal, di mana Raeni pernah menuntut ilmu di sana. Sebelumnya, Pak Mugiyono, bekerja sebagai karyawan PT.KLI (Kayu Lapis Indonesia). Demi membeli laptop yang merupakan kebutuhan utama anaknya, beliau memutuskan mengundurkan diri agar dapat uang pesangon.

Raeni sendiri masuk ke Unnes dengan program Bidikmisi, di mana biaya kuliah selama 8 semester ditanggung pemerintah. Tentu Pak Mugiyono harus tetap memikirkan biaya makan dan bayar kos untuk putri bungsunya itu. Alhamdulillah, Raeni adalah tipe anak yang tekun, aktif, dan punya prinsip hidup yang kuat. Dia pun mampu menyelesaikan kuliahnya selama 3 tahun 6 bulan 10 hari.

Saat pertama kali membaca berita itu, perasaan takjub dan terharu langsung menyergap diri saya. Sebagai ibu dari 3 anak, saya dapat merasakan betapa bangganya orang tua Raeni. Anak yang dididik dan diasuh dengan kondisi ekonomi yang bisa dibilang pas-pasan, bisa mendapat predikat Wisudawan Terbaik Unnes Tahun 2014. Apalagi saat tahu, dia tinggal di Desa Langenharjo yang notabene masih satu satu desa dengan saya, membuat saya ingin bertemu dengan dia.

Saya ungkapkan keinginan saya itu pada Nabila, putri saya. Dia malah nanya,” Ummi kenapa sih pengin ketemu Mbak Raeni?” Jujur, saya ingin sekali membuat tulisan tentang dia, sekaligus berfoto dengannya. Hari gini, nulis tanpa disertai foto = hoax * itu kata teman-teman saya loh. Sebagai sesama warga Kendal, saya bangga dengan prestasinya di tengah berbagai masalah yang terjadi di daerah saya ini. Ya, banyak yang bilang Kendal miskin prestasi, hanya kaya sensasi. Dan kehadiran Raeni, setidaknya mematahkan anggapan itu.

Subhanallah, tak pernah saya duga, keinginan itu akhirnya terwujud. Hari Minggu pagi, 15 Juni, tiba-tiba Raeni muncul di rumah saya. Hari itu, ada acara penanaman pohon mangrove dalam rangka Hari Lingkungan Hidup Sedunia di Desa Kartika Jaya, Patebon, Kendal. Paguyuban Keluarga Kendal (Pakken) meminta suami saya, Raeni dan Mas Haris (seorang mahasiswa IPB) untuk datang mewakili. Saya tak mau melewatkan kesempatan emas itu. Bersama dua anak saya, saya mengikuti perjalanan mereka. Dan inilah yang bisa saya tulis tentang Raeni, selama 5 jam kebersamaan itu.

Santun dan sederhana, itulah kesan pertama yang saya tangkap dari seorang Raeni. Dia juga ramah menyapa kedua anak saya dan tak canggung saat ngobrol berenam di dalam mobil maupun saat di tempat acara. Raeni sering memberi masukan pada Nabila yang masih galau dengan rencana kuliahnya. “Tulis semua keinginanmu. Saya terbiasa menulis mimpi-mimpi saya di kertas. Dan kemarin ketika saya buka lagi tulisan itu, saya terkejut, kok semua sesuai ya dengan apa yang saya tulis.” Bukan hanya ditulis, tentu harus diperjuangkan.

Raeni juga pesan sama Nabila, “Kalo sudah kuliah nanti, kamu harus aktif di berbagai kegiatan kampus. Banyak manfaatnya kalo kamu aktif ini itu. Di antaranya saat ingin mengajukan program beasiswa atau pertukaran pelajar ke luar negeri, pasti ditanyakan tentang aktifitas di luar kampus.” Raeni sendiri, selain sibuk kuliah, ternyata aktif di beberapa organisasi kemahasiswaan dan rajin mengikuti berbagai lomba.

Raeni juga cerita kalau dia sudah beberapa kali mencoba mengirim aplikasi beasiswa S2 di dalam negeri. Semuanya ditolak, padahal nilai yang dia peroleh cukup tinggi. Itulah yang membuat dia akhirnya bilang ingin kuliah S2 ke Inggris, saat ditanya oleh wartawan seusai wisuda. Jawaban itu spontan, karena dia pikir di dalam negeri aja ditolak, ya mending sekalian aja kuliah di luar negeri.

Tentang Inggris, dia memang sudah lama tertarik dengan negara itu. Saat jadi asisten lab, dia dan dosennya sering add orang-orang di FB yang kuliah di Inggris. Membaca pengalaman mereka, membuat Raeni sering ngomong sama dosennya itu, “ Kapan ya, Bu, kita bisa kuliah di Inggris. Ayo ah kita berusaha.” Dan, insha Allah mimpi Raeni untuk kuliah di Inggris akan segera terwujud, karena pemerintah memberi perhatia khusus padanya.

Saat pihak Unnes meminta Raeni mengurus beasiswa ke Kemendiknas, Jakarta, keajaiban demi keajaiban datang. Tak disangka Pak SBY dan Bu Ani berkenan menemui Raeni di bandara Halim Perdanakusuma. Beliau juga menawarkan Beasiswa Presiden, di mana Raeni berhak kuliah di salah satu dari 50 universitas terbaik sedunia. Momen itu tentu sangat mengharukan dan membahagiakan buat Raeni dan keluarganya * lihat ekspresi sang Bapak di foto. Mereka benar-benar nggak nyangka bertemu Presiden dan beberapa menteri (termasuk Mendikbud, Muhammad Nuh). Sesuatu yang mungkin tak pernah dibayangkan orang awam seperti mereka.
saat bertemu Pak SBY dan Bu Ani

Selama 2 hari di Jakarta, Raeni nggak sempat jalan-jalan. Di luar Favehotel Gatot Subroto, tempat dia menginap, puluhan wartawan selalu siap memburunya. Dia sempat diundang ke studio Net.TV dan bertemu dengan beberapa artis ibu kota. Bahkan Arumi Bachsin, memberikan nomor hapenya, karena suaminya kuliah di Amrik. Siapa tahu nanti Raeni memilih kuliah di Amrik, Arumi siap membantu.

Saya bersyukur bisa bertemu dengan Raeni saat ini. Jadwalnya sangat padat. Banyak pihak yang ingin menemuinya, mulai stasiun TV, media cetak, perusahaan nasional, sampai tim sukses capres kedua kubu (wow, yang terakhir ini belum dia tanggapi). Kantor Depdikbud Kendal sendiri juga membuat agenda agar Raeni bisa bertemu dengan Ibu Bupati dan beberapa pejabat di Propinsi Jawa Tengah.

Belum lagi, pekan depan, Raeni harus ke Puspitek, Tangerang untuk mengikuti persiapan program pertukaran pelajar di Jepang selama 9 hari. Pengajuan program itu sudah lama dia ajukan, tapi baru di-acc beberapa bulan lalu.

Subhanallah, akhirnya, satu demi satu mimpi Raeni pergi ke luar negeri bisa terlaksana. Sebelumnya, Raeni pernah praktek mengajar di Malaysia selama beberapa bulan. Sebentar lagi ke Jepang. Dan setelah itu, mungkin Inggris. Raeni belum menentukan pilihan mau kuliah di negara mana dan di universitas mana. Yang pasti dia harus belajar bahasa Inggris lebih intensif lagi, karena nilai TOEFL-nya belum mencapai 500.

Selamat berjuang, Raeni. Jalan yang harus kau tempuh masih panjang. Semoga Allah memudahkan semua urusanmu, hingga tercapai cita-cita muliamu menjadi dosen. Walau sekarang sedang jadi pusat perhatian (dia nggak mau disebut selebritis, loh), tetap sederhana dan rendah hati, ya. Jangan lupa, bahagiakan kedua orang tuamu yang sudah bersusah payah mendidik dan membimbingmu.

Itulah catatan singkat saya. Belum banyak sih info yang bisa saya gali tentang dia, termasuk masa-masa kuliah yang tentu mangharu biru.  Tapi, lima jam bersama Raeni membuat saya semakin yakin, bahwa tak ada kesuksesan yang instan. Semua harus diperjuangkan dengan tetesan darah, keringat, dan air mata. Betul kata Pak SBY, “Siapa pun bisa berprestasi, dari kalangan yang punya atau pun yang kurang punya.” Dan Raeni sudah membuktikan itu.

di camp acara

Raeni, me, and Nabila

saat nanam mangrove

Raeni, Nabila, dan peserta lainnya








Senin, 02 Juni 2014

Cerita di Balik Buku Resep Saya

17.46 2 Comments
Hura…hura…(kok kayak Masha), akhirnya buku solo pertama saya terbit juga. Rasanya seperti terbang ke awang-awang saat menerima bukti terbitnya. Pas ngliat di rak toko buku Gramedia, malah pengin pingsan *lebay pisan euy. Asal tau aja, Saudara-saudara, buku saya itu buku masakan. What? Dilihat dari tampangnya, pasti banyak yang nggak percaya kalo saya bisa masak. Lha wong saya sendiri aja juga nggak percaya * lho pie jal?

ini bukti terbit

penampakan di Gramedia Semarang Pandanaran

 Oke, daripada bingung, mari kita liat kronologinya *haish. Jadi begini, sekitar bulan Mei 2013, saya nglamar alias ngajukan outline ke sebuah agensi naskah, sebut saja namanya re! *itu mah bukan inisial, dodol. Waktu itu modal saya cuma nekat, karena kepepet nggak punya pemasukan,  yang ada pengeluaran besar-besaran. Karena peluang yang ada resep masakan, saya coba ikutan.

Nggak disangka-sangka, pagi saya kirim outline, sore dapat balasan email. Kira-kira isinya begini: oke, silakan dibuat 3 contoh resep masakan plus fotonya. Waktunya 1 minggu, lewat dari itu batal. Eh, nggak ding, orang-orang di agensi itu baik dan sabar semua.

Mulailah, saya browsing tentang aneka masakan yang dibungkus daun. Otak-atik dikit, jadilah. Masalah berikutnya: foto. Lha, saya kan nggak punya kamera. Telpon sana sini, akhirnya dapet pinjaman temen suami, syaratnya cuma 2 hari. Okelah, saya siapin masakannya, suami dan Nabila yang bagian foto-fotonya. Begitu selesai, saya kirim sampel resep dan fotonya. Sekitar 2 hari kemudian, saya dapat jawaban: oke, silakan dilanjutkan, Mbak, 20 resep waktunya 1 bulan. Mbak Ifah, sang editor, juga melampirkan tips membuat foto makanan yang menarik. Hmmm…1 bulan ya, trus minjem kamera siapa lagi?

 Tiba-tiba inget kakak tercinta yang tinggal di Bekasi. Dia kan punya kamera SLR. Segera saya hubungi dia. Dan akhirnya: deal.Di hari yang sudah disepakati, saya berangkat sendirian naik taxi ke Bekasi, suami nggak mau nganter sih * sibuk tenis. Dari pagi kami berdua masak-masak sampai siang. Barulah acara foto-fotonya sore hari. Sang fotografer  aka ponakan tercinta, Muthia, malah tidur saat masakan siap difoto. Kelamaan nunggu masaknya, kali, hehehe…Akhirnya sang pahlawan alias suami tercinta datang menjemput. Dialah yang akhirnya jadi fotografer masakan kami. Makasih my hubby, dah mau njemput, mau jadi tukang foto, lagi.

FYI, masakan yang kami masak di hari itu nggak sampai 20 resep lah. Jadi masih ada PR banyak nih. Dan untuk menyelesaikannya, saya harus pontang-panting. Mulai dari nyari peralatan untuk penyajian, pinjem foto kakak lagi, sampai foto-foto lagi. Berkat bantuan keluarga tercinta, akhirnya naskah terkirim tepat waktu. Alhamdulillah…

Dua bulan kemudian, uang hasil jerih payah itu cair. Nambah deh rekening saya yang tinggal saldo minimal. Kalo buku masakan gitu sistemnya jual putus, nggak pake royalty. Kecuali kalo ntar saya sudah kayak Bu Sisca Soewitomo, hahaha…*ngimpi! Dan buku solo pertama saya itu terbit setahun kemudian.

Nah…akhir Februari 2014, saat saya dah pindah rumah ke tanah Jawa, tiba-tiba Mbak Ifah muncul di kotak chatting FB.
If : selamat sore, Mbak, lagi sibuk apa nih?
Sy : lagi selingkuh nih…ngerjain flanel
If : kalo ngerjain buku masakan lagi mau?
Sy : saya coba dulu deh (gaya cool, sok nggak butuh uang)
If : silakan buat outline 20 soto nusantara, saya tunggu ya…
Sy : oke
Esoknya saya membuat sampel 3 macam soto berikut foto-fotonya. Kameranya? Pinjem punya temen dari keponakan saya * haish, rempong amat. Begitu saya kirim, esoknya dapat jawaban : oke, lanjut. Untuk buku kali ini disertai foto langkah pembuatan step by step. Waduh...

Nah, mulailah kehebohan terjadi hampir tiap hari di rumah. Saya yang bikin soto, Nabila yang bagian bikin fotonya. Yang namanya berselisih pendapat dan bertengkar sering terjadi. Biasalah…kadang saya kelamaan utak-atik, tau-tau dah sore. Matahari yang sudah mau tenggelam tidak bagus untuk pencahayaan foto. Nabila ngambek, saya yang teriak-teriak, “Ayo, difoto lagi.”

Lain waktu, saya yang patah semangat, “Kok riweuh banget ya, pake foto step by step. Rasanya capek, pengin berhenti.” Kalo sudah begini, Nabila yang menyemangati dengan joget-joget pake pom-pom,  “ Ayo, jangan putus asa. Ummi pasti bisa.” Melihat tingkah anak tercinta, semangat saya biasanya bangkit lagi. Saya harus mengajari dia untuk menyelesaikan sesuatu yang sudah menjadi tanggung jawabnya, meski berat sekali pun.

proses masak dan fotonya di teras rumah loh
Demikianlah proses membuat buku kedua yang berdarah-darah, bahkan sempat terucap kata kapok ngerjain buku resep masakan * ups… Jujur, saya nggak stress soal proses masaknya, tapi soal penampilan makanan agar terlihat bagus di kamera. Kayaknya saya emang harus kursus fotografi nih. Saya dan Nabila sedang ngerayu si bebeb agar mau beliin kami kamera. Tapi jawaban beliau pasti gini, “ Bisa aja Abi beliin kalian kamera tapi kita puasa dulu 1 tahun, nggak usah jalan-jalan, makan-makan, atau beli buku.” Huaaaa….itu impossible, Beib!

Caper : One Day Trip to Solo with IIDN Semarang

11.07 6 Comments
Dalam rangka ultah IIDN ke-4, IIDN Semarang ngadain acara yang judulnya keren. Yaitu One Day Trip to Solo. Tujuan utamanya mengunjungi penerbit Tiga Serangkai di jalan Dr. Soepomo no.23 Solo. Nama komunitasnya aja Ibu-ibu Doyan Nulis, pasti kalo ngadain acara harus yang ada hubungannya dengan dunia kepenulisan. Cuma itu aja? Tentu tidak! Yang namanya emak-emak, pasti nggak bisa dipisahkan dengan acara belanja-belanja dan wisata kuliner * hayo…ngaku.

Setelah diumumkan dan ditunggu sampai batas akhir pendaftaran, tercatat 30 orang yang mendaftar. Eh, 30 itu sudah termasuk anak-anak loh. Saya ngajak Nabila, karena dia ngotot ikut. Maklum, sejak pindah dari Jakarta, kita memang nggak pernah jalan-jalan. Oke lah, sebagai emak yang baik, saya biarkan dia membolos sekolah demi jalan-jalan ke Solo *ups, bukan contoh yang baik, ya, Saudara-saudara.

sambil nunggu bus, foto2 dulu
Bus meninggalkan meeting point 1 alias masjid Baiturrahman sekitar pukul 06.30, menuju rumah mak Fenti di Ngesrep. Dari meeting point 2 inilah, bus melaju ke Solo. Di tengah perjalanan, selain membagikan snack dan air mineral, panitia juga memberikan doorprize berupa aneka buku dan voucher pada peserta yang berhasil menjawab pertanyaan. Ehm, saya nggak dapat, gara-gara salah menyebut tanggal lahir IIDN. Harusnya 23 Mei, saya jawab 24 Mei. Yaaah…cuma selisih 1 hari aja masak nggak boleh sih, Mak? * dijitak panitia.

Sekitar jam 11.00, rombongan tiba di kantor Penerbit Tiga Serangkai. Wow…ada tulisan selamat datang IIDN Semarang di pintu masuk * norak banget sih saya. Melihat buku-buku yang dipajang di galeri, mata emak-emak langsung ijo. Mas Verry Kurniawan, humas-nya TS, langsung mengalihkan perhatian emak-emak yang mulai kalap itu, “ Belanjanya nanti saja, ya. Sekarang silakan menuju lantai 4 dulu.” Ngos-ngosan juga ya…naik tangga. Untung sampai di atas langsung disuguhi snack dan air mineral, ilang deh capeknya * tsaah.

Di ruang pertemuan, kami disambut oleh Mas Irfan Zaenudin, Manajer Buku Umum TS, juga beberapa editor yang selama ini cuma saya kenal namanya lewat FB seperti Mbak Windri dan Mbak Tiara. Dalam sambutannya, Mas Irfan menyampaikan sedikit sejarah berdirinya Tiga Serangkai. Bahwa sang founder, Bapak Haji Abdullah Marzuki (alm) dan Ibu Hj. Siti Aminah, dulu adalah guru SD. Berangkat dari keprihatinan tentang minimnya buku pelajaran, mereka membuat materi pelajaran yang dicetak stensil dan ditawarkan ke sekolah-sekolah lain. Ternyata, buku stensilan mereka itu mendapat respon positif.


TS yang didirikan tahun 1959, memang awalnya hanya mencetak buku-buku pelajaran. Namun sejak tahun 2003, TS juga membuat buku umum. Menjawab pertanyaan beberapa emak yang menanyakan buku yang paling laris terbitan TS saat ini, Mas Irfan menjawab, buku-buku yang isinya kisah inspiratif seperti kisah Pak Jokowi dan Pak Habibie. Kalau novel, novel sejarah kayak karangan Pak Langit Kresna Hariadi yang judulnya Gajah Mada.
ini loh Pentalogi Gajah Mada yang fenomenal itu
Oh, ya, di tengah acara seorang editor menyampaikan naskah karya 3 emak-emak IIDN Semarang yang sudah mau naik cetak. Judul bukunya Anakku, Tiket Surgaku, penulisnya….tara! Mak Uniek, Mak Aan, dan Mak Wuri. Prok…prok…prok…, kapan ya giliran tulisan saya * halah, lha wong kirim aja enggak. Kata Mas Irfan, “Mudah-mudahan setelah ini, ada lagi tulisan anggota IIDN Semarang yang diterbitkan di sini.” Amin…amin…

Usai acara sambutan kedua belah pihak, dilanjut dengan keliling kantor dan pabrik, melihat proses pembuatan dan pencetakan buku. Pertama turun ke lantai 3, ruang di mana para editor bekerja. Kami diperbolehkan melihat-lihat cara kerja mereka. Sebagian mas-mas editor kabur menghindar, sebagian tak bisa pergi dari meja kerjanya karena sudah dikepung emak-emak, hahaha…

gangguin mas editor lg kerja
Puas ngerjain mbak dan mas editor, kami diajak mampir ke ruang perpustakaan TS, masih di lantai 3. Beraneka buku dipajang di sini sebagai bahan referensi, artinya bukan hanya terbitan TS saja. Ternyata di salah satu ruangan, ada Pak LKH, sang penulis buku Gajah Mada yang fenomenal itu. Sengaja beliau minta satu ruangan di TS untuk menulis agar lebih bisa konsentrasi dan mudah setor naskah sama editornya. Padahal beliau bukan karyawan TS loh. Itulah enaknya kalo udah terkenal. Tulisannya ditunggu-tunggu, minta tempat aja disediakan * mupeng.

menyimak dgn serius
Beliau tahu aja kalo emak-emak ini mau minta foto bareng. Dengan ramahnya, beliau menuruti keinginan kami. Jadilah beliau seperti harimau di sarang perawan, eh...lebih tepatnya kuning di antara lautan merah. Hehehe…dress code kami hari itu kan merah, sementara beliau berkaus kuning.

foto bareng Pak LKH
Setelah puas foto bareng Pak LKH, kami diajak turun ke lantai 1 untuk melihat aneka mesin raksasa. Mas Verry menerangkan pada kami semua proses pencetakan buku. Mulai dari proses mencetak naskah ke plat besar sampai proses pengepakan buku yang sudah siap edar. Wuih…panasnya berada di dalam sana.



Berhubung sudah menjelang jam 13, acara selanjutnya ya…ishoma. Usai sholat di lantai 1, naik lagi ke lantai 4, hosh…hosh…hosh…Nasi kotak pun dalam sekejap sudah berpindah tempat ke perut * laper sih. Keliling pabrik sudah, makan siang sudah, trus…pamitan deh. Mak Dewi Dedew selaku kepala suku memberikan plakat kepada pihak TS. Tak lupa foto-foto dulu dengan spanduk IIDN Semarang yang baru. Ciiiis…


Turun lagi ke lantai 1 deh * capek nggak bacanya, saya aja capek kok naik turun tangga mulu. Sebagian menyelesaikan urusan keuangan di kasir, sebagian foto-foto di depan pintu masuk * teteup narsisnya mah. Sampai banyak yang komen kalo IIDN itu cocoknya singkatan dari Ibu-ibu Doyan Narsis, hihihi... Yuk, ah…lanjut destinasi berikutnya.

di pintu masuk TS
Atas usul beberapa pihak yang nggak mau pulang kemalaman, akhirnya diputuskan membatalkan beberapa rencana yaitu nonton latihan nari di Pura Mangkunegaran dan makan malam di Galabo, depan PGS. Mak Winda yang asli Solo, mengusulkan ke pusat batik Laweyan, beli oleh-oleh, sama makan di Café Tiga Tjeret aja. Saya dan sebagian peserta yang nggak ngerti tentang Solo, oke aja, hayuuuk…

Bus pun melaju ke daerah Laweyan. Terik matahari yang sangat menyengat tak menghalangi niat emak-emak untuk melihat-lihat daerah penghasil batik yang terkenal itu. Padahal letak kampung Laweyan agak masuk dari jalan besar, bus nggak bisa masuk. Jadi, kami harus rela berjalan kaki rame-rame. Mak Winda merekomendasikan Batik Putra Laweyan untuk kami singgahi. Tempatnya emang enak dan adem. Sayang, harga batiknya muahaaal untuk ukuran kantong saya. Ya, sesuai lah, itu kan baik tulis bukan batik cap. Yang buatan tangan pasti harganya beda sama yang pabrikan. Sebagai crafter saya tahu itu * halah.

numpang foto2 doang di depan galeri batik
Setelah beristirahat sejenak, lanjut cari oleh-oleh. Cemilan di toko itu nggak khas Solo semua, tapi yang pasti masih seputar Jawa Tengah dan Yogya. Kayak bakpia, getuk Trio, dll. Saya ngambil intip yang disiram kinca, khas Solo banget, buat oleh-oleh Mbak saya, dan bakpia untuk teman Nabila. Buat cemilan sendiri, saya ngikut Mbak Aan yang ngambil kacang tanah goreng  trus disambelin, apa ya namanya. Pokoknya itu makanan jadul, waktu saya masih anak-anak.



aneka cemilan

Selesai beli oleh-oleh, lanjut makan malam di Café Tiga Tjeret * loh kan masih sore,kok makan malam. Wow…(nggak pake koprol tapi), ini warung hik paling keren yang pernah saya temui. Beneran, pinter banget ownernya mengemas hik jadi cozzy kayak gitu. Soal rasa mungkin sama saja dengan hik lainnya, tapi kemasannya sungguh luar biasa. Yang membuat saya salut lagi, mereka memanfaatkan barang bekas sebagai asesoris. Seperti kap lampu dari botol plastik bekas dan hiasan dinding toilet dari bekas kemasan telur. Pokoknya, kapan-kapan kalo ke Solo harus ngajak suami ke situ…harus!

makan sore menjelang malam
Berhubung adzan Maghrib sudah berkumandang, kami pun sholat Maghrib dulu di saung kecil di pojokan café. Setelah itu, barulah bus melaju ke arah Semarang, mengantarkan kami pulang ke rumah masing-masing. Di masjid Baiturrahman, rombongan terakhir diturunkan. Sungguh ini hari yang menyenangkan buat saya. Bisa jalan-jalan bareng emak-emak IIDN, menambah ilmu dan wawasan, juga melepas kepenatan. Habis ini kita mau jalan-jalan ke mana lagi, Mak? * mulai ketagihan.