Selasa, 21 April 2015

Ibu Mertuaku, Sang Ekonom Handal

22.29 0 Comments
Perempuan yang melahirkan suami saya bernama Ratidjah. Perempuan desa yang hanya lulus Sekolah Dasar. Tapi jangan ditanya kehebatannya dalam menjalani peran sebagai istri dan ibu bagi keenam anaknya. Sejak muda sudah harus mendampingi suami yang menjabat sebagai Kepala Desa. Aktif di berbagai kegiatan ibu-ibu di tingkat desa, kecamatan, bahkan kabupaten.

Keenam anaknya diasuh sambil tetap aktif berorganisasi. Karena itu bila tidak ada kegiatan keluar rumah, waktu dicurahkan untuk keluarga. Membuat masakan ala kampung yang super lezat, sampai-sampai keenam anaknya selalu merindukan masakan dari tangan Ibunya hingga dewasa. Ketika Lebaran atau pertemuan keluarga, pokoknya masakan Ibulah yang paling ditunggu-tunggu kehadirannya.


Saat baru melahirkan anak pertama dan menumpang di rumah mertua, saya sempat merasakan kecerewetan beliau. Tidak boleh makan ini itu, tidak boleh melakukan ini itu, karena baru melahirkan. Sebagai ibu baru, saya sempat berpikir, “ Ih, cerewet banget sih, emang Ibu itu dokter. Tahu mana yang boleh dan tidak boleh untuk perempuan yang baru melahirkan.”

Tapi seiring berjalannya waktu, saya semakin menyadari bahwa itu adalah tanda kasih sayang dan perhatian beliau pada kami. Semakin lama saya semakin mengenal dan bisa memahami karakter Ibu. Beliau berbicara dengan suara keras, tapi hatinya lembut. Beliau juga sangat keras dalam mendidik anak, hingga keenam anaknya berhasil dalam pendidikan dan karier.


Satu hal yang saya perhatikan dari Ibu adalah kelebihan beliau dalam hal pembukuan dan hitung menghitung. Beliau punya buku batik kecil memanjang yang berisi catatan keuangan. Semua hal yang berhubungan dengan keuangan komplit tercatat di sana. Mulai dari pemasukan dan pengeluaran harian, biaya pengolahan sawah dan hasil panen, sampai hutang piutang dengan orang lain. Termasuk hutang saya kepada beliau, hahaha…

Dalam satu buku berisi catatan keuangan selama satu tahun. Dan buku-buku yang sudah terisi penuh beliau simpan dengan rapi. Jadi kalau ingin tahu tentang keuangan di tahun sekian, tinggal dibuka saja. Wow…saya terkagum-kagum dengan kelebihan beliau yang satu itu. Bahkan suami dan kakaknya sering bercanda, “ Ibu itu kalau dapat gelar sarjana pasti gelarnya Sarjana Ekonomi.” Hahaha…benar juga.

Ibu sering mengingatkan pada anak perempuan dan menantu perempuannya untuk selalu rajin mencatat pemasukan dan pengeluaran keluarga. Menurut beliau itu penting, karena manusia tempatnya salah dan lupa. Kadang ditegur suami, kok uang yang diberikan cepat habis. Nah, tinggal tunjukkan catatannya saja. Hmmm...pemikiran luar biasa dari perempuan yang tidak pernah merasakan bangku sekolah SMP.

Soal hitung menghitung, beliau juga canggih. Tanpa menggunakan kalkulator beliau bisa menghitung prosentase bunga bank dan harga-harga barang. Saat ngobrol dengan saya beliau sering bercerita sambil menantang kemampuan saya dalam berhitung. Misalnya, "Sawah yang di sana itu harganya sekian juta per rhu (itu satuan apa ya?), berarti semeternya berapa?" Tik...tok...tik...tok...*sunyi senyap. Itulah kerennya Ibu mertua saya.


Tulisan sederhana ini saya tulis khusus untuk orang yang sudah melahirkan, mendidik, dan membesarkan lelaki yang saya cintai. Saya sudah menganggap beliau seperti ibu kandung saya sendiri. Saya tidak pernah sungkan bercerita apa saja dengan beliau. Kepada suami, saya juga sering mengingatkan, bahwa seorang ibu adalah tanggung jawab anak lelakinya. Karena itu saya sering meminta suami untuk membantu di saat Ibu membutuhkan sesuatu. Semoga Ibu selalu sehat dan bisa terus beraktifitas mengurus kebun dan ternak-ternaknya.


Rabu, 15 April 2015

Nengok Ibu Kota

09.55 0 Comments
Setelah beberapa kali batal, akhirnya saya dan anak-anak jadi juga ke Jakarta. Lala…yey yey yey * kibas-kibas pom pom. Kalo Natal 2013 kami meninggalkan Jakarta pulkam ke Kendal, Natal 2014 kami dari Kendal nengok Jakarta. Tapi eits…pak sopir ganteng kok mengarahkan mobilnya ke arah selatan ya. Apa mau ikut-ikutan mencari kitab suci kayak Kera Sakti? Hmmm…ternyata beliau mau mampir dulu ke rumah adiknya di Yogya. Setelah menginap semalam barulah lanjut ke Jakarta lewat jalur selatan.

Wew…ternyata jalur selatan tuh sempit jalannya, nggak kayak pantura. Jadilah perjalanan Yogya-Jakarta memakan waktu lumayan lama. Ditambah hujan deras yang turun sepanjang perjalanan, membuat semua kendaraan nggak bisa ngebut alias padat merayap. Kami sih santai-santai aja sambil menikmati pemandangan kiri kanan. Yang stress tentu pak sopir ganteng di sebelah saya. Akhirnya beliau minta istirahat di Saung Desa, Jalan Raya Bandung-Tasik km 51, Garut. Hore…makan-makan! Apalagi buat saya yang asli Jawa tapi penggemar masakan Sunda, ini passsss banget.

menunya bikin ngiler
Sekitar 2-3 jam kami istirahat di sana, trus lanjut lagi. Akhirnya sampai juga di Halim, alhamdulillah. Yang jadi masalah sekarang, mess tempat tinggal suami cuma berukuran 3x3 m. Lha kalo buat beraktivitas berlima, apa nyaman? Kebayang kan, kami rebutan oksigen saat tidur atau berdesakan saat makan atau nonton TV. Untung si tengah mau disuruh nginep di rumah soulmatenya waktu SMP dulu, Gilang. Dan dua hari berikutnya si kecil diangkut Pakdhenya ke Bekasi. Yeay…lumayan lega kamar kalo ditempati bertiga.

Tapi rencana yang saya susun hancur berantakan berkeping-keping jadinya. Padahal dari Kendal sudah membayangkan jalan-jalan ke Blok M cari buku-buku bagus yang murah. Atau ke Asemka beli bahan-bahan craft. Ternyata oh ternyata…biaya hidup seminggu di Jakarta membengkak luar biasa. Salah satu contohnya, beli tiga porsi nasi goreng di pasar mini Angkasa, depan mess Manuhua aja 82.000. What? Saya dan Nabila sampe hampir pingsan liat angka di kuitansi si Mbak. Wew…ternyata porsinya jumbo dan rasanya biasa aja. Alhasil, malam itu usai makan kami berdua menggerutu sepanjang malam.

Yang senang tentu ketiga bocah itu. Memang sesuai rencana, mereka ke Jakarta karena kangen dengan teman-temannya. Jadilah liburan semesteran kali ini ajang reuni mereka. Si emak yang imut dan baik hati ini akhirnya rela ngendon di kamar mess sendirian. Oh, nasib…nasib…Ya, paling pol diajak suami ke Tamini Square cuci mata sambil bikin kacamata Nabila. Atau jalan sama Nabil ke Pondok Gede Mall beli ATK ke Gramedia dan Gunung Agung.

Eh, tapi saya juga sempat reuni dengan teman-teman SMA ding. Critanya, Upik, temen sebangku waktu kelas 1 SMA, tiba-tiba ngajak ketemuan. Karena malam tahun baru itu saya lagi di rumah Kakak di Bekasi, saya suruh dia main ke rumah Kakak. Nggak nyangka, dia main sambil bawa kerjaannya, yaitu wire brooch. Asyik…saya dan Kakak dapet kursus gratisan nih.

belajar bikin wire brooch
Dan sebelum balik ke Kendal, saya dan suami ngumpul di di rumah makan Kajojo, Delta Mas, Bekasi, untuk membahas reuni perak SMAN 1 Kendal yang rencananya tanggal 17 Juli 2015. Sip deh…anak-anak reunian sama teman-teman sekolahnya. Emak Bapaknya juga reunian dengan temen SMA-nya. Setelah seminggu di ibukota plus menguras seluruh isi tabungan, akhirnya kami balik ke home sweet home, Kendal tercintah. Tahun depan liburan ke mana lagi ya, Beb? * kabur ah, sebelum ditimpuk kartu ATM sama si Bebeb.

me, hubby,dan teman SMA
Nabila dan geng SMP-nya

Brian and the gank

Nabil dan sahabat TK-nya