Bapak mertua saya dulu
seorang Lurah (Kepala Desa). Beliau lama sekali menduduki jabatan itu. Mungkin
sekitar 20 tahunan. Sebelumnya beliau berprofesi sebagai guru SD. Nah, selama
menjabat Lurah dalam waktu yang panjang itu, Bapak dan Ibu mampu berinvestasi
berupa tanah dan sawah.
Ketika satu persatu
dari ke-6 anaknya memasuki bangku kuliah, Bapak dan Ibu mulai menjual satu per
satu tabungannya itu. Apalagi ketika anak pertama sampai keempat waktu itu
kuliah semua dan salah satunya di fakultas Kedokteran. Wah…terbayang kan berapa
biayanya. Akhirnya, dengan berat hati Bapak dan Ibu menjual semua tanah dan
sawah yang beliau miliki. Habis…bis…tak bersisa.
Yang ada tentu saja
rumah besar yang menjadi tempat tinggal sampai sekarang. Ditambah tanah yang
juga masih luas di samping rumah. Banyak orang yang mencibir apa yang dilakukan
Bapak Ibu. Maklum, waktu itu di desa mereka masih jarang orang tua yang
menyekolahkan anaknya hingga perguruan tinggi. Paling mentoknya ya sampai SMA.
Yang paling berani
menegur terang-terangan adalah kakak kandung Bapak sendiri. Begini katanya, ”Buat
apa nyekolahin anak tinggi-tinggi. Tuh, lihat anaknya si A, kuliah
bertahun-tahun nggak lulus-lulus. Pulang malah dapat istri dan sekarang
kerjanya serabutan. Mending nanti tanah dan sawahmu itu kamu bagi ke anakmu
satu-satu.”
Tapi Bapak dan Ibu
menanggapinya dengan senyuman. Mereka tak memperdulikan pendapat orang lain,
yang penting keenam anaknya harus kuliah setinggi-tingginya. Bahkan ketika si
bungsu lulus SMA dan tak ada lagi yang bisa dijual, Bapak Ibu mengumpulkan kelima
anak lainnya.
“Nak, berhubung Bapak
sudah tidak menjadi Lurah dan pensiun dari guru tidak seberapa, tolong bantu
biaya kuliah adik bungsumu ini.”
Alhamdulillah, kini
perjuangan Bapak Ibu sudah menunjukkan hasil yang nyata. Keenam anaknya sudah
lulus kuliah dan semuanya bekerja. Saat berkumpul bersama, Bapak sering memberi
wejangan pada kami. Kadang wejangan itu diberikan dalam bahasa Jawa, sampai
cucu-cucunya melongo. Maklum Bapak kan pernah kursus jadi Pranatacara alias
pembawa acara di acara pernikahan. Jadi bahasanya kayak orang main wayang atau
ketoprak gitu.
“Anak-anak, tahu
nggak, Mbah Kakung bicara tentang apa?”
“Nggak tahuuu….”
Itulah kondisi
anak-anak sekarang, jarang yang berbahasa Jawa (apalagi kromo inggil) pada orang
yang lebih tua. Sehari-hari menggunakan bahasa Jawa kasar campur bahasa
Indonesia. Ya, mereka tidak bisa disalahkan. Orang tuanya sendiri jarang
mengajarkan (tunjuk hidung sendiri), trus di sekolah pelajaran Bahasa Jawa
hanya diberikan selama 2 jam pelajaran. Ditambah lagi teman-teman mereka juga
menggunakan bahasa Jawa yang kasar. Ya, sudah lah, klop semua…
Kembali ke soal
wejangan Bapak. Beliau tak bosan-bosannya meminta kepada kami agar nanti
menyekolahkan anak-anak kami setingi-tingginya.
“Dalam bahasa Jawa ada
pepatah ‘Jer basuki mawa beya’, kalau ingin hidup enak/sukses harus mau
berkorban/ berusaha (Beya itu arti sebenarnya biaya, tapi bisa diartikan pula
sebagai usaha). Coba kalian bayangkan kalau Bapak Ibu dulu mendengarkan kata
saudara-saudara Bapak. Mungkin kalian nggak ada yang jadi Dokter, PNS, atau
Perwira TNI. Mungkin kalian saat ini seperti sepupu kalian yang jadi petani
atau pegawai pabrik. Karena itu, nanti cucu-cucuku juga harus sekolah yang
tinggi.”
Suami sering menggoda
Ibunya, ”Bu, sebenarnya Ibu gela (kecewa) nggak sih udah jual semua perhiasan,
tanah, dan sawah untuk biaya kuliah. Lihat tuh, sekarang Ibu nggak pakai gelang
dan kalung lagi. Dan tanah sawah dulu itu kalau dijual sekarang laku ratusan
juta lho.”
“Ya, sebenarnya gela
sih, Le, hehehe…Tapi kalau Ibu melihat anak-anak sudah jadi orang, ya Ibu
ikhlas dan bangga. Nggak apa-apa nggak pakai perhiasan, lha wong sudah tua kok.
Menyekolahkan anak itu kan sudah kewajiban dan tanggung jawab Bapak Ibu.”
Oh, so sweet…* peluk
Ibu mertua dan sungkem sama Bapak mertua.