Kamis, 31 Januari 2013

Belajar dari Para Ibu di Jepang

11.26 1 Comments


Dalam ajaran Islam sebenarnya sudah dijelaskan bahwa Ibu adalah sekolah pertama bagi anak-anaknya. Al ummu kal madrasatul ula. Tapi kenyataannya banyak para ibu di Indonesia (yang mayoritas muslimah) nggak ngeh dengan hal itu. Nggak jauh-jauh contohnya, ya saya sendiri.  Sejak umur 20 tahun saya sudah bekerja, kemudian di usia 25 tahun menikah, dan setahun kemudian menjadi seorang ibu. Saking sibuknya, saya sampai nggak sempat mendidik anak-anak dengan tangan saya sendiri. Sebagian besar saya serahkan pada tangan orang lain.

Sejak usia sebulan, anak-anak saya tinggal bekerja. Waktu untuk mereka hanya sore sampai malam. Itu pun dengan sisa tenaga yang sudah terkuras habis sejak pagi. Saat masuk usia sekolah, sengaja saya pilih sekolah Islam, agar para guru bisa mengajari anak saya doa dan adab kegiatan sehari-hari seperti makan ,minum ,dan berpakaian. Agar mereka tahu apa bacaan sholat. Agar mereka bisa mengenal angka dan huruf. Astaghfirullah...apa yang saya lakukan bertolak belakang dengan para ibu di Jepang yang kebanyakan malah non muslim.

Menjelang persalinan, perempuan Jepang memilih meninggalkan pekerjaan dan memutuskan menjadi ibu rumah tangga. Sebagian memutuskan bekerja kembali paruh waktu setelah berusia 40 tahun. Bagi mereka, tiga tahun pertama adalah masa paling penting untuk meletakkan dasar pendidikan pada anak. Dan, lihatlah hasilnya. Anak-anak menjadi pribadi yang santun, disiplin, dan cerdas. Mereka sangat sayang dan kagum kepada ibunya. Bahkan menganggap ibu mereka jelmaan Dewi Amaterasu yang sangat dipuja oleh bangsa Jepang.

Sudah tiga tahun terakhir ini saya berhenti bekerja. Niat saya sih ingin agar punya lebih banyak waktu untuk mengurus ketiga anak saya. Tapi kenyataannya...susah. Saya tetap saja sering meninggalkan mereka untuk urusan pribadi maupun organisasi. Saya tetap saja sering nggak masakin mereka karena asyik dengan kesibukan saya sendiri. Saya tetap saja nggak sabar ngajarin mereka tentang hal-hal yang mereka ingin tahu.

Saya sadar, saya memang bukan ibu yang baik. Kado-kado yang diberikan suami, anak-anak, dan keponakan di hari Ibu kemarin, semakin membuat hati saya teriris-iris. Hiks...maafkan, Ummi, ya. Tapi percaya, deh, Ummi akan selalu berusaha untuk menjadi istri yang menentramkan hati suami, menghangatkan keluarga, dan menjadi apa pun yang anak-anak mau.

Ini dia penampakan cokelat dari Abi, buku dari Nabila, dan kerudung dari Rani, keponakanku:








Buat dua jagoan, mana kado buat Ummi, hehehe...nggak ding. Ummi cuma pengin kalian berdua jadi anak yang sholeh, nurut kata Abi dan Ummi, dan jangan maiiiin terus.

(Tulisan ini seharusnya diposting pas tgl.22 Desember 2012. Gapapa, biar telat asal dibaca dengan cermat sambil makan ketupat di kursi lipat sambil kipat-kipat* maksa)

Senin, 28 Januari 2013

Bedah Buku "The Secret of Biography"

10.14 0 Comments



Saat ada info bedah buku di FB Sang Biograf, saya langsung tertarik datang. Alasan utamanya, karena ada Pak Bambang Trim sebagai salah satu pembicara. Entah, saya pengin banget ketemu beliau. Bukan karena naksir orangnya. Tapi saya senang ketemu orang yang menyebut dirinya Komporis itu. Ya, orang yang senengnya ngomporin orang lain untuk menulis. Intinya saya suka pada orang yang membawa aura positif untuk orang di sekitarnya. Alasan lainnya, tentu ingin mendapat ilmu tentang menulis biografi. Sekarang kan lagi booming orang bikin biografi. Mulai dari tokoh politik, artis, sampai orang biasa pun banyak.

Dengan mengucap Bismillah, hari Sabtu, 26 Januari 2013, seusai sholat Dzuhur, saya langsung naik Trans Jakarta menuju ke Function Room, Gramedia Matraman. Acara bedah buku "The Secret of Biography: Rahasia Menulis Biografi ala Ramadhan KH" dibuka jam 13.00 lebih oleh MC dari pihak Gramedia. Pembicara pertama dari pihak penerbit Akademia, yang memberikan sambutan sangat singkat dan padat. Intinya bahwa pihak Akademia mau menerbitkan tulisan ini karena isinya layak digunakan sebagai pedoman untuk pembuatan biografi. Selanjutnya acara inti pun dimulai. Sang moderator, R. Masri Sarep Putra (dosen ilmu komunikasi UMN), mengawali pembicaraan dengan mengutip quotes dari Ramadahan KH (RKH) bahwa banyaklah membaca dan menulis. Kalau hanya menulis maka yang ada di kepala akan habis. Karena itu isilah dengan banyak membaca agar kepala selalu terisi dengan ilmu. Seperti kendi, yang bila dituang terus akan habis air di dalamnya.

Berikutnya, sang penulis buku, Zulfikar Fuad diberi waktu 15 menit untuk berbicara. Menuruf Pak Zul, buku ini dibuat sebagai rasa terima kasih pada RKH yang telah membagikan ilmu menulis biografi padanya. Pak Zul menceritakan bagaimana awal mula bisa bertemu langsung dengan RKH, juga tentang sosok RKH di matanya.

Waktu 15 menit rasanya hanya sebentar, demikian juga waktu yang diberikan untuk Pak Bambang Trim. Pak BT hanya bisa sedikit membagi ilmunya. Intinya bahwa penulis biografi harus berinteraksi langsung dengan sosok yang akan ditulisnya (istilah Pak BT : kalibrasi). Seperti pesan Pak RKH, menulislah apa adanya, menulislah dengan hati. Dan yang penting ada 3 tips untuk bisa menulis dengan baik : banyak baca, banyak jalan, dan banyak silaturrahim * super sekali Pak BT.

Pembicara berikutnya Pak Djadjat Sudradjat ( wartawan dan redaksi Media Grup). Beliau bercerita banyak tentang pertemanannya dengan RHK. Suka duka RKH saat menulis biografi Pak Harto (eh...banyak dukanya, ding). Tahu sendiri kan politik masa orde baru. Belum lagi soal honor yang nggak jelas, dipingpong sana sini sama Mbak Tutut. Menurutnya, RKH memang penulis biografi hebat, sangat mahir memindahkan ruang privat ke ruang publik. Bahkan biografi Inggit Garnasih, ada sebagian isinya menyimpang dari norma, tapi tak membuat pamor Pak Karno turun.

Kayaknya waktu untuk Pak Djadjat lebih dari 15 menit deh. Acara dilanjut dengan sesi tanya jawab. Di sela acara istri RKH, Ibu Salfrida Nasution, banyak bercerita tentang suaminya. Tentang kebiasaan beliau membaca banyak buku, meletakkan buku di mana saja. Membuat catatan dalam lembar kertas, yang bila ada yang hilang, beliau akan marah. Tentang beliau yang suka menulis dengan mesin tik, gara-gara pernah nulis pakai komputer tiba-tiba salah pencet trus hilang. Trauma! Beliau tiap hari biasa menulis dari subuh sampai jam 11 *hebat, tapi saya nggak mungkin menirunya, karena akan diomelin orang serumah.

Menurut rencana Gilang Ramadhan akan datang di acara bedah buku ini. Sayang, faktor kesehatan belum memungkinkan. Tapi lewat teleconference, dia berbicara banyak tentang sosok sang ayah, sekaligus permintaan maaf tidak bisa hadir. Semua bisa memaklumi kok Mas Gilang *hehehe...walau ada rasa sedikit kecewa.



Dari berbagai pertanyaan pengunjung acara bedah buku, ada jawaban para pembicara yang bisa saya catat, bahwa:
- Kultur masyarakat Indonesia tidak suka dengan keterbukaan atau kejujuran. Tulislah apa yang dikehendaki tokoh yang akan kita tulis biografinya. Untuk sosok yang sudah meninggal, tulislah yang baik-baik. Kalau ada hal kurang baik, sebaiknya diambil dari narasumber lain.
- Banyak sekali kesempatan/ peluang membuat biografi. Semua orang bisa menulis biografi. Tidak harus yang sudah tua, terkenal, atau yang mau meninggal. Banyak anak muda sukses yang bisa dibuat biografi penggalan kisah hidupnya, seperti pemilik Lele Lela, keripik pedas Mak Icih, dll. Biografi mereka bisa dibaca kaum muda maupun yang sudah tua.
- Penulis biografi harus menempatkan diri sebagai penulis profesional, tanpa memandang siapa yang ditulisnya.
- Menulis biografi yang baik itu seperti menulis novel. Ada konflik dan bisa menggetarkan hati pembacanya.

Acara ditutup dengan penandatanganan surat perjanjian pemberian 50 % royalti hasil penjualan buku The Secret of Biography kepada keluarga RKH (diwakili istri RKH) dan tentunya pembagian 5 doorprize dari panitia. Sesuai rencana acara selesai pukul 16.00. Demikian laporan reporter cantik dan imut, Jeng Sri, dari atas Trans Jakarta jurusan PGC yang nggak begitu banyak penumpangnya * halah.

Jumat, 18 Januari 2013

Banjir...oh, banjir...

16.19 0 Comments

Seharian ini isi berita di televisi tentang banjir semua. Mungkin di koran juga, maklum saya nggak langganan koran. Jakarta dikepung banjir, lah. Beberapa perumahan di Bekasi dan Tangerang terendam banjir, lah. Untung Halim nggak banjir, cuma rumah saya bocor di mana-mana. Maklum rumah dinas yang kebanyakan penghuninya males memperbaiki. Kan itu rumah milik negara, bukan rumah sendiri (ngeles).

Status teman-teman FB juga tentang banjir. Kayaknya banjir kali ini merata, ya? Saat melihat foto banjir di FB mantan tetangga di rumah tempat kelahiran saya dulu, tiba-tiba....duaarr! Saya yakin foto itu diambil dari jalan Pemuda, jalan yang dilewati semua kendaraan yang melintas dari Semarang menuju Pekalongan. Perasaan jadi berkecamuk, pikiran seperti kembali ke beberapa puluh tahun yang lalu, saat saya masih tinggal di rumah itu.



Saya lahir di sebuah rumah kecil di dalam gang sempit (lihat foto sebelah kiri, ada gapura hitam, kan?). Rumah itu peninggalan kakek, orang tua dari Bapak. Letaknya hanya beberapa ratus meter dari Kantor dan rumah dinas Bupati Kendal. Luasnya 12 x 6 meter persegi. Dindingnya dari papan. Lantainya sejajar dengan jalan gang. Lantai rumah tetangga semuanya lebih tinggi dari jalan gang. Bisa ditebak, setiap banjir datang pasti rumah kami yang pertama kemasukan air. Padahal banjir itu datangnya rutin setiap tahun. Ya, beginilah resiko punya rumah dekat sungai. Karena banyak yang buang sampah di sungai, trus sungai mengalami pendangkalan. Ya...sudah deh, banjir lagi...banjir lagi...

Banjir seolah jadi sahabat karib saya, yang setiap tahun selalu kangen dan datang ke rumah saya. Kalau hujan tiga hari berturut-turut, sudah dipastikan si banjir bakal datang. Tengah malam, tiba-tiba terjaga oleh suara titir alias kentongan kayu yang dipukul para peronda sebagai tanda bahaya/ bencana. Sesekali  terdengar teriakan, “Banjir...Banjir...!” Saat menurunkan kaki ke lantai...krubyuuuk! Ternyata air sudah masuk ke rumah kami. Ya, Allah, datangnya air ini kok cepat sekali. Pernah saya menyaksikan sendiri, air tiba-tiba masuk ke dapur yang lantainya lebih rendah. Dalam hitungan detik, air deras terus masuk hingga akhirnya merendam seluruh lantai rumah kami.

Yang lebih menyedihkan kalau malam tiba. Listrik biasanya padam. Yang bisa saya lakukan hanya berdiam diri di atas tempat tidur. Kalau ada PR, maka saya mengerjakannya di bawah penerangan lampu teplok (yang bahan bakarnya minyak tanah). Pernah juga, rumah kebanjiran saat Bapak sedang opname di rumah sakit. Beliau heran melihat saya yang nggak pernah menginap, tiba-tiba tidur berdesakan berdua dengan Ibu di kasur samping Bapak. “Tumben kamu mau tidur di rumah sakit? Rumah kita kebanjiran, ya?” Walau sebenarnya ingin menyembunyikan kondisi rumah, Bapak toh akhirnya tahu juga.

Tahun 1992, Kendal pernah banjir besar. Di rumah saja air masuk setinggi lutut. Sebagai pegawai yang masih baru, saya takut bolos kerja. Akhirnya saya nekat tetap berangkat, meski harus menembus banjir. Sampai di kantor, ternyata kondisi lebih parah. Kantor kemasukan air satu meter. Astaghfirullah...

Sekarang, melihat banjir yang melanda Jakarta, membuat saya harus banyak bersyukur. Tempat tinggal kami, Halim Perdanakusuma, nggak kebanjiran. Saya juga sudah nggak kerja kantoran, jadi nggak perlu bersusah payah menerobos banjir demi sampai ke tempat kerja. Rasa sedih akibat beberapa barang dan majalah yang basah kena bocoran air hujan, nggak sebanding dengan penderitaan saudara-saudara yang tinggal di pengungsian. Meski nggak pernah tinggal di pengungsian, tapi saya bisa merasakan ketidaknyamanan tinggal di tempat yang nggak hommy. Semoga banjir segera berakhir dan mereka bisa segera pulang ke rumah masing-masing. Amiiin.




3 Hari 3 Pasar Sejuta Rasa Sejuta Cerita

15.17 0 Comments

Nabila  : Ummi, liburan besok pengin ke mana?
Saya     : Pengin ke pasar Asemka
Nabila  : Cetek amat.  Keinginan tuh yang tinggi, jalan-jalan ke Eropah kek, Amrik kek, Ausi kek. Gitu
Saya     : Cetek? Biarin...!

            Bener kalo ada yang bilang bahwa ucapan kita bisa berarti doa. Dan ternyata, doa saya itu terkabul, Saudara-saudara. Saat anak-anak libur semesteran, emaknya dapat kesempatan jalan-jalan ke 3 pasar yang berbeda di Jakarta. Mau tau kayak apa cerita Emak Katrok Jalan-jalan? Dijamin nggak kalah seru sama acara Mister Tukul Jalan-jalan, deh. Penasaran? Yuk mari, cekidot!

Jumat, 4 Januari

Lagi asyik-asyik masak opor ayam, tiba-tiba...ting tong! Eh, pagi-pagi dah ada tamu. Jangan-jangan sopir kantor hubby dah njemput. Saat kuintip, eh...bener. Langsung sambar handuk, mandi. Sementara opor ditungguin Nabila, saya mandi. Kalo mandi biar apa? Biar byur...(hehehe...garing, krik krik, istilah Nabila). Selesai langsung jalan ke rumah Bu Ida.

Oh, ya, Bu Ida itu berdarah Padang. Jadi, tahu sendiri lah soal tawar menawar. Beliau punya hobi jalan-jalan keliling Jakarta. Ibarat kata dia itu Miss Jinjing KW 1, hehehe...(sory Bu Ida). Coba tanya padanya di mana tempat cari jam murah, souvenir murah, ATK murah, baju murah, atau tempat makan yang mak nyus. Pasti di tahu jawabannya. Oh, kalo jam tangan murah di Pasar Senen. Kalo ikan yang murah di Pasar Tebet. Kalo...kalo..kalo...sampe pusing saya mengingatnya, maklum sudah mengalami PDI (penurunan daya ingat).

Ok, akhirnya kami berdua (diantar sopir kantor) tiba di Pasar Asemka jam 10-an. Dengan langkahnya yang super cepat, Bu Ida mengajak saya menyusuri lantai bawah yang jalannya terbuat dari paving block. Wuih...barang-barang fancy lucu tampak jelas di depan mata. Di sini semua tidak dijual satuan, tapi lusinan atau grosiran. Soal harga, nggak jauh beda kok dengan barang yang biasa saya beli di Pasar Jatinegara. Cuma di sini pilihannya buanyaaaak sekali.



Niat kami berdua ke Asemka untuk membeli souvenir yang akan kami bawa ke Bandung, dalam rangka pertemuan rutin 3 bulanan PIA Diskesau. Sebagai bendahara, saya  memang biasa ditenteng ke mana-mana (tas kresek, kali). Atas kesekapatan bersama kami memilih : dompet! Setelah memilah-milih sambil berdiskusi alot (lebay), akhirnya kami berdua memutuskan dompet seharga 432 ribu / lusin atau satuannya 36 ribu. Kalo dah masuk toko, biasanya dijuan 50 ribuan. Kami juga beli dompet hape seharga 180 ribu / lusin atau 15 ribuan. Saat menanyakan harga barang yang sama di Mangga Dua, harganya 40 ribu (tapi bisa ditawar lho). Duaarr! Mau pingsan mendengarnya.

Bu Ida juga nunjukin saya tempat yang jual ATK, plastik kemasan souvenir, tas kertas, dll. Mulai dari lantai dasar yang berpaving, sampai lantai 1, 2, 3 yang nyaman dan ber-AC. Harganya bikin ngiler, bok. Saya jadi pengen segera mewujudkan mimpi yang sudah lama tersimpan di kulkas, eh...kepala: punya toko kado dan souvenir!

Perjalanan pulang ke Halim yang luamaaaa gara-gara hujan dan macet (di jalan tol aja ada kalo 1 jam), nggak membuat kami bertiga bete. Soalnya tadi Bu Ida sempat mampir beli pisang goreng pasir khas Pontianak (dan ubi goreng) langganannya di Mangga Dua. Sukses deh penggemukan badan hari ini. Siang tadi makan mie goreng mak nyus di Pasar Asemka. Walau tempatnya terbuka di dekat parkiran, tapi rasanya yummy dan pelanggannya juga banyak. Makasih, Bu Ida, sudah mewujudkan keinginan saya jalan-jalan ke Asemka (halah).

Sabtu, 5 Januari

Nah, kalo kali ini saya janji ketemuan di stasiun Kota dengan komunitas IIDB (Ibu-ibu Doyan Bisnis). Janjiannya sih jam 10, tapi biasa lah...emak-emak, eh nggak cuma itu, Jakarta biasa macet kan? Akhirnya jam 11 kita ber-8 (6 emak-emak plus 2 anak-anak) naik angkot ke Pasar Pagi Mangga Dua. Dipandu Teh Ocha, penulis beberapa buku ketrampilan, kami menyusuri setiap sudut dan lorong pasar Mangga Dua (lebay nggak sih?).



Di lantai dasar, banyak pedagang tanaman artificial mulai dari bunga, dahan,dan daun. Bentuknya persis aslinya. Teh Ocha membeli beberapa bunga di toko langganannya. Lanjut ke lantai 1, dimana Teh Ocha membeli beberapa pasang boneka beruang kecil untuk pernak-pernik seserahan. Sepanjang jalan Teh Ocha memberi info pada kami tentang apa saja yang berhubungan dengan craft. Misalnya di mana beli bahan-bahan craft yang murah, apa saja yang bisa dibuat dengan bahan ini itu, tips memadukan warna. Banyak deh pokoknya ilmu yang dia share pada kami.

Tibalah kami di lantai 3 yang merupakan pusat penjualan bahan-bahan craft. Kami ngider dari toko satu ke toko lain. Masing-masing sibuk dengan keinginannya. Mbak Hayu asyik melihat benang rajutan. Mbak Lia mencari pita dan renda yang pas buat rok tutu jualannya. Saya dan Mbak Rahmi lihat-lihat bahan flanel dan perlengkapannya. Tia,nggak jelas maunya apa, hehehe...Sementara Teh Ocha, sang guide, kewalahan menghadapi ibu-ibu yang banyak maunya.

Melihat anak-anak Lia yang tampak lelah, Teh Ocha memutuskan untuk rehat dulu di KFC. Sambil menikmati pesanan masing-masing (yang bayar sendiri-sendiri, tentu), kami ngobrol tentang banyak hal. Mulai dari pengalaman pahit Teh Ocha yang pernah disakiti teman FB. Gara-gara memberi pelatihan ketrampilan, Teh Ocha bisa didenda ratusan juta, katanya. OMG! Perbincangan jadi menghangat, karena nggak ada yang tahu mana yang benar. Terakhir, Teh Ocha usul, gimana kalo kita bikin buku ketrampilan secara keroyokan alias antologi. Wah, senengnya...tapi bingung juga, mau bikin apa. Kayaknya semua ketrampilan sekarang ini sudah ada bukunya.

Ok, simpen dulu rasa bingungnya. Makan sudah...sholat Dzuhur sudah...jalan-jalan lagi, dong! Kalo tadi sisi kiri, sekarang sisi kanan. Wuih...bener-bener komplit di sini. Meski besi bulat gantungan kunci yang saya tunjukkan, tak satu pun toko yang punya stoknya. Nggak ada atau nggak punya, entahlah...Yang pasti saya jadi tahu di mana toko yang jual aneka pita, renda, kain flanel, kayu pegangan tas, besi pengait, dll.

Setelah kaki berubah ukuran (jadi bengkak, maksudnya), kami meninggalkan Pasar Pagi Mangdu dengan hati riang. Sebelum pulang, foto bersama dulu dibantu Mbak penjaga toko. Klik! Lihat senyum ceria kami. Sungguh, perjalanan ini seru dan kami ingin mengulanginya lagi. Kata Teh Ocha, insya Allah, Februari dia akan ke Pasar Tanah Abang. Ikut...ikut....



Senin, 7 Januari

Hore, dapat proyek kelas teri! Disuruh beli ATK untuk acara seminar 2 hari. Klien saya tak lain adalah lelaki terganteng sedunia yaitu my hubby, hihihi...Dengan uang 500 ribu di tangan, berangkatlah saya ke Pasar Jatinegara. Naik angkot 06A dari PGC, lanjut angkot 27 yang berhenti persis di jembatan penyeberangan sekaligus shelter Trans Jakarta.

Pasar Jatinegara atau pasar Mester dikenal sebagi tempat kulakan para pedagang di seputar Jakarta Timur. Memang nggak sekomplit dan senyaman di Asemka,Tanah Abang, atau Mangga Dua. Tapi lumayanlah bagi yang mau jualan kecil-kecilan atau pemula. Di pasar ini banyak tersedia souvenir pernikahan, baju, kerudung, alat tulis, tas,dompet, dll.



Karena yang akan saya beli adalah ATK, maka langsung aja bicara toko ATK (ya iya lah, masak toko bangunan). Di pintu masuk (begitu turun jembatan penyeberangan), ada toko-toko ATK yang besar seperti Laguna dan Sukses Makmur. Harganya grosiran, beli barangnya lusinan, ada beberapa sih yang boleh 3 biji. Saya biasa beli di situ kalau di toko langganan saya nggak ada stok.

Toko langganan saya ada di lantai dasar Pasar Mester. Namanya Toko Mesias dan toko di depannya (namanya lupa, nggak ada plangnya sih). Pagi itu saya langsung ke toko depannya Mesias. Harganya jauuuh dibanding ATK yang dijual di Gramedia. Semalam saya dan hubby sempat beli beberapa barang untuk sampel. Buku notes di GM 4.500 di sini cuma 2.500. Name tag plus talinya juga separuh harga di GM. Disket isi 50 biji harganya 110 ribu. Wow, jauh kan?

Oke, demikianlah laporan jalan-jalan saya ke 3 pasar di Jakarta selama 3 hari. Dari kawasan Halim Perdanakusuma yang nyaman, tentram , dan damai, reporter cantik dan imut, Jeng Sri, melaporkan. Sampai jumpa lagi di pasar berikutnya.

*Lha sejuta rasa dan sejuta ceritanya mana? Terserah saya sebagai penulisnya, lah. Mau rasa apel, anggur, strawberry, plus buah lainnya, terserah saya. Mau nulis ceritanya selembar dua lembar, itu juga terserah saya. Yang pasti saya sangat menikmati perjalanan itu. Nggak bisa diungkapkan dengan kata-kata, deh, pokoknya.

Senin, 07 Januari 2013

Jakarta - Solo - Yogya Tour

09.13 0 Comments

Kalau akhir tahun 2011 lalu hubby ada tugas 2 hari ke Bandung, akhir  tahun ini ganti ke Solo. Melihat kalender yang ada harpitnas (jadi total bisa 6 hari), dia meminta kami ikut. Sekalian pulang kampung, katanya. Maka pantaslah kalau perjalanan kali ini disebut sebagai napak tilas. Karena kami sekeluarga akan mengunjungi  tempat-tempat yang bersejarah alias pernah kita tinggali atau pernah ada kenangan di sana. Ceilee...sepanjang jalan kenangan nih ceritanya, hihihi...Sepanjang itu pula nanti reportase saya. Asal jangan bosan aja bacanya, ya. Ini dia...cekidot!

19 Desember
Oke, perjalanan start dari rumah Halim Perdanakusuma, setelah semua sholat Ashar. Wuss...wuss...wuss...pak sopir baru berhenti ketika jam di hape saya menunjukkan pukul 01.00 dini hari, tepatnya di kota Cirebon. Kami sholat Maghrib plus Isya (dijamak), lalu makan malam di warung tenda pinggir jalan. Maklum sejak pagi saya menghadiri acara tabloid Nova bareng ibu-ibu PIA, jadi nggak sempat nyiapin bekal. Setelah perut kenyang, lanjut lagi perjalanannya.

20 Desember
Kami nyampe di SPBU Weleri jam 05.00. Setelah sholat Subuh plus menikmati makanan kecil khas kota kelahiran kami, si Xenia hitam jalan lagi. Kami masuk komplek Lanud Adi Sumarmo jam 09.00. Karena acara suami jam 10.00 dan kami butuh tempat untuk istirahat, langsung saja nyari hotel di sekitar komplek. Dapat! Namanya Hotel Marini 2. Kalau menurut saya, tempat ini nggak pantas disebut hotel, pantesnya losmen. Dari depan kayak rumah biasa, kecil. Ternyata kamar-kamarnya memanjang ke belakang. Kayak kos-kosan, gitu. Kalau penasaran beginilah penampakannya...


Begitu hubby berangkat kerja, kami berempat  tidur-tiduran. Ckckck...yang nyetir dan capek kan my hubby, lha kok malah kami yang santai-santai gini. Udah gitu, jam 13.00 suami ngirim temennya untuk menemani kami makan siang. Duh, baiknya my hubby! Ah...aku ingat, itu kan Pak Sambino, yang dulu pernah tugas bareng hubby di Kalijati. Pak Sambino ternyata mengajak sang istri untuk menemani saya. Asyik...ada teman ngobrol.

Demi menuruti selera anak-anak, Bu Sambino mengajak kami ke Solo Grand Mall. Wow...ternyata foodcourt-nya komplit juga. Sayang, karena pas jam makan siang, jadi nggak ada kursi kosong. Jadilah kami duduk di kursi punya CFC, sekalian Brian dan Nabil makan di sana. Brian hanya makan burger, sementara Nabil habis 2 porsi nasi dan ayam. Wuih, mirip bapaknya banget, makannya selalu nambah. Saya dan Bu Sambino sih cukup makan mie ayam saja. Sementara Nabila makan makanan Jepang gitu, entah apa namanya.

Selesai makan, Bu Sambino nawari, “Sekarang mau ke mana lagi. Saya siap mengantar, loh.” Saya langsung jawab, ” Tempat yang jual batik murah!” Oke, langsung lanjut ke PGS (Pusat Grosir Solo). Begitu masuk, saya langsung tanya harga baju batik yang selama ini saya inginkan. Wih, mahal amir, Mbak. Yaudah lah, jalan lagi...Ternyata di toko berikutnya, harganya murah. Sama dengan yang ditawarkan di olshop. Tanpa babibu, langsung beli 2 potong. Di toko berikutnya, harganya lebih murah lagi, tapi modelnya beda, lengan ¾. Beli 3 potong lagi. Nabila juga minta 1 baju batik plus 2 celana kolor. Kalau nggak mikir, besok mau makan apa, pengin rasanya saya borong semua baju batik di sana (sombong!). Bagus-bagus, sih...maklum saya kan Batik Lovers.


Setelah puas makan dan belanja, kami diantar sampai hotel. Sore, hubby pulang dengan wajah lelah, ya iya lah, habis nyopir seharian trus ikut acara pokja. Yaudah, bobok dulu, beibeh...Jam 7 hubby ngajak keluar cari makan sekalian ke rumah my brother di kawasan Papahan, Karanganyar. Sebenarnya kasihan sama hubby, kecapekan gitu. Tapi gimana lagi, mosok dah nyampe Solo nggak mampir ke rumah my bro yang sudah 3 tahun nggak pernah ketemu. Untung suami sangat pengertian. Makasih, ya, beib, I love you so much, muach...

Untung ada GPS, jadi walau jalannya muter-muter akhirnya nyampai juga di rumah my bro. Duh, senangnya bisa ketemu keluarga my bro. Jagoannya 3, pinter-pinter dan penurut semua. Begitu ditawari bakso yang lewat, kami langsung teriak, “Mau...mau...” Eh, nggak gitu, ding. Yang pasti bakso yang tersedia langsung kami santap. Dari tadi nyari hek( nasi kucing van Solo), nggak ada yang sreg, jadi kami belum makan malam, deh.

Setelah hubby cukup tidur di rumah my bro, kami balik ke hotel lagi. Eh, ada kardus kiriman dari teman SMA kami, Darmawan. Isinya kue dan snack khas Solo. Alhamdulillah...sayang nggak bisa nemui. Yaudah, besok sebelum jalan ke Yogya, mampir ke kantor Darmawan dulu, Nasmoco Solo. Oh, ya, tugas hubby cuma sehari di Solo (suratnya aja yang 2 hari). Jadi rencana berikutnya adalah go to Yogya. Cihuii...tarik, mang!

21 Desember
Pagi, setelah mendapat sarapan berupa mie goreng yang rasanya 11-12 dengan masakan saya, kami segera check out. Sesuai rencana, mampir ke kantor Darmawan dulu, baru go to Yogya. Karena sarapan tadi kurang nendang, begitu sampai Yogya hubby ngajak makan. Ngasal aja, saya ngajak  makan nasi gudeg di dekat Lanud Adi Sucipto. Anak-anak bilang, “Nyam...nyam...enak!” Usai makan, si Xenia hitam langsung mengarah masuk komplek Lanud Adi Sucipto. Melewati mess yang pernah ditempati hubby dulu, bekas rumah sakit tempat tugas hubby dulu, dan...museum yang letaknya persis di depan bekas rumah sakit. Bisa ditebak, hubby langsung ngajak Nabil yang lagi gandrung pesawat, masuk museum.


Jujur, kalau saya sudah bosen masuk museum itu. Tapi demi si kecil yang tiap hari ngobrolin pesawat sama sohibnya, Abe, saya ngalah, deh. Masuk lewat pintu keluar (hehehe...jangan ditiru, ya, karena di pintu masuk banyak rombongan anak sekolah), lihat-lihat aneka pesawat, foto-foto, trus...pulang. Tempat kunjungan berikutnya adalah RSPAU Hardjolukito. Hubby ada sedikit urusan dengan temannya. Wuih...sekarang gede banget nih rumah sakit, ya iya lah, sekarang kan jadi RS pusatnya TNI AU. Tahun 2010 ketika saya ikut kuker ke sini, bangunan belum segede ini. Sekarang diperluas sampai ke belakang.

Urusan hubby selesai, kita cabut lagi. Karena sudah saatnya sholat Jumat, si Xenia berhenti di Gramedia dulu. Sementara nunggu 3 jagoan sholat, saya dan Nabila baca-baca buku. Habis itu cap cus ke jalan Malioboro. Pertama tentu saya nyari tempat sholat. Sudah langganan, langsung naik lantai 3 toko Al Fath yang lama (sekarang ada yang baru, lebih luas dan komplit, letaknya nggak jauh dari yang lama). Selesai sholat, ngider deh. Rombongan terpecah jadi 3, hehehe....keliatan banget kalau nggak kompak, ya? Rombongan cewek nyari kaos di sepanjang jalan, trus ke tempat favorit kami, Mirota Batik! Suasana crowded banget, biasa lah rombongan dari mana-mana. Banyak yang saya suka di sini, suasananya Jawa banget. Sebagai orang Jawa, saya sangat tertarik hal-hal yang berbau Jawa. Bahkan saya punya mimpi punya rumah yang bernuansa Jawa banget (amiiiin). Ya, mirip-miriplah dengan suasana di Mirota Batik. Serba kain batik, bak kamar mandinya berupa gentong, pakai gayung batok kelapa. Bedain toilet cowok cewek, terlihat di pintu, satunya bibir berlipstik tebal, satunya kumis, hehehe...kreatif banget yak? Di wastafel ada bunga mawar yang dialasi daun pepaya. Bau mawarnya semerbak, euy...




Nggak nyangka, di Mirota Batik ketemu rombongan 2 (hubby dan si kecil, Nabil). Setelah membayar belanjaan (saya beli sepasang patung Jawa, Nabila beli cokelat Monggo), kami berempat mencari si anak hilang. Entah, ABG satu itu memang nggak suka ngumpul bapak ibunya. Karena di telpon nggak ada jawaban, kami pasrah saja. Yang penting makan dulu di depan pasar Bringharjo. Hua...kenapa sih, makanan di sini enak-enak semua. Saya dan Nabila makan lontong pecel sepiring berdua. Biasa lah perempuan, gayanya sok diet, makannya dikit, padahal ngemilnya buanyak, hihihi...

Setelah perut kenyang, kita jalan ke Malioboro Mall, tempat si Xenia diparkir. Di pintu gerbang mall, kami melihat si anak hilang lagi senyum-senyum, pake kaos gambar Bob Marley, dan kalung bertuliskan namanya. Ckckck...nurun siapa anak saya yang satu ini. Karena semua sudah kumpul, yaudah go to Kendal, kota kecil tempat kelahiran kami berempat. Hanya Nabila yang numpang lahir di Kalijati, Subang. Lainnya produk asli kota Kendal.

Ya, Allah, perjalanan Yogya-Kendal kok luamaa sekali, sih. Udah hujan, banyak ketemu truk-truk segede gaban, lagi. Sabar, ya, pak sopir. Kami nyampe rumah Bapak tepat saat cinderella berubah jadi upik abu, alias jam 12 malam, teng! Jadi total Yogya-Kendal 7 jam-an. Wuih...kayak Jakarta aja sekarang macetnya. Setelah sholat, aku dan Nabila langsung pingsan. Mungkin karena mencium bantal yang entah sudah berapa lama nggak dicuci, hehehe...Sementara hubby, ternyata tidur di mobil, karena sudah nggak kuat nahan kantuk.

22 Desember
Bangun tidur, langsung inget cucian yang bejibun. Yaudah nyuci dulu. Lihat hubby yang tidur nyenyak, nggak tega untuk membangunkan. Ternyata jam 3-an hubby dibangunkan Bapak trus pindah deh tidur di kasur yang digelar di depan TV. Padahal saya dah janjian sama kakak mau maen ke rumahnya di Semarang jam 9-an. Yaudah, dicancel ajah. Pak sopirnya aja belum bangun.

Ingat undangan pernikahan ponakan di Salatiga, memaksa saya membangunkan suami dan anak-anak. Hasilnya, jam 11 kami sudah siap meluncur ke Salatiga, setelah menikmati sarapan lezat buatan Bapak. Maafkan menantumu yang tak tau diri ini, ya, Pak. Sejak ditinggal Ibu ikut adik di Bogor, Bapak jadi mandiri alias masak-masak sendiri. Dan hasilnya...tara, masakan terbuat dari tahu tempe aja rasanya ngalahin sate sama gule, hehehe...

Lagi-lagi, terjadi kemacetan luar biasa. Menuju tol Krapyak aja jalannya kayak keong bunting, luamaaa banget. Dan hasilnya, kami tiba di Gedung Makutarama, Salatiga jam 2 lebih, saat tamu-tamu sudah habis. Hujan deras yang turun tak mengurangi kehangatan suasana di dalam gedung. Saya masih ketemu dengan sebagian sepupu keluarga Salatiga (mereka 12 bersaudara loh), ketemu dua kakak kandung saya yang tinggal di Semarang, my bro yang kemarin saya temui di Solo, dan sepupu dari Kendal lainnya. Begitu kami pulang, ruangan sudah diberesi panitia, kali. Soalnya dah jam 3-an.

Sebelum pulang Kendal, my lovely sister meminta saya menemui putrinya alias ponakan saya, Rani, di tempat kosnya. Dia yang kuliah di Akbid sedang praktek di RSUD Salatiga selama sebulan. Ternyata dia memberi saya kado dan berkata, “Selamat hari Ibu, ya, Ummi.” Duh, jadi terharu, makasih, ya, Cinta. Tulisan tentang Hari Ibu, besok saya posting tersendiri aja deh.

Ingat macet di mana-mana, membuat saya memutuskan pulang ke Kendal saja. Sebenarnya pengin mampir rumah my sister, apalagi ponakan saya, Angga bilang, “Bulik, kalo mampir ke rumah, ntar saya belikan lumpia.” Duh, ngiler sebenarnya. Tapi kalo terjebak macet membuat pak sopir saya tercinta jadi emosi tingkat dewa. Maaf, ya, ponakan-ponakan tercinta, Bulik nggak bisa mampir ke rumah kalian.

23 Desember
Hari Minggu! Waktu tinggal di Kendal, hampir tiap hari Minggu kita jalan-jalan ke Taman Garuda, alun-alun kota Kendal tercinta. Dan sekarang ternyata lebih rame dan bermacam-macam jenis jualannya. Tapi saya tetep mencari yang orisinil dan nggak ada di Jakarta. Dan akhirnya dapat yang satu ini: pecel semanggi plus sate keong (sawah). Hmmm...yummy!
Sebelum meninggalkan Taman Garuda, hubby ingat kalo di acara pelantikan pengurus Pakken (Paguyuban Keluarga Kendal, yang tinggal di Jabodetabek) tanggal 20 Januari nanti harus pake batik khas Kendal. Naiklah ke lantai 2 komplek pertokoan Kendal Permai yang ternyata menjual aneka makanan dan barang kerajinan khas Kendal. Dapat 1 potong batik yang sesuai. “Nggak papa lah, Beib, sekali-sekali pake warna merah. Malah kelihatan ganteng dan 10 tahun lebih muda.” Hehehe...my hubby hanya senyam-senyum dipuji istrinya yang tukang gombal.


Selanjutnya si Xenia hitam meluncur ke rumah kami tercinta di Komplek Griya Praja Mukti blok R-7. Sayang si pengontrak rumah lagi pulkam. Untung saya punya 2 tetangga yang baik. Saya mampir di rumah paling ujung, Bu Kholid. Kami bertiga ngobrol, ditemani pisang goreng hangat dan sirup. Sementara hubby ngobrol di teras rumah kami dengan Pak Dadang, orang yang dipercaya ngurus rumah.

Karena tercium bau asem-asem gitu, saya jadi sadar kalo kami semua belum mandi. Yaudah, pamitan dulu sama 2 tetangga tercinta (rumah kita memang cuma berderet tiga rumah, terpisah dengan rumah lainnya, maklum blok tambahan). Sebelum balik ke rumah Bapak, saya mampir ke rumah sohib saya, rekan kerja dulu, Martha, yang udah janji mau ngasih kalender. Untung ketemu. Maka berpindahlah tas yang berisi kalender dan mug ke tangan saya. Sory, ya, Cin, kita nggak bisa ngobrol banyak. Ntar deh saya kirim buku antologi terbaru saya, yang lupa dibawa karena buru-buru.

Kami pun pulang ke rumah Bapak. Anehnya, setelah mandi, eh...semua malah pada tidur. Saya dan Nabila mulai bete dan pengin segera balik ke Jakarta. Dia merengek ke bapaknya, “Abi, pulang ke Jakartanya besok aja, ya. Di sini nggak enak, aku mau belajar (huh...bilang aja nggak bisa ngenet semalaman atau jalan-jalan sama teman-teman).” Hubby menuruti keinginan putri tercantiknya itu dengan mengatakan bahwa besok malam kita semua akan balik ke Jakarta.

24 Desember
Sebelum balik Jakarta, saya ingat ada sesuatu yang harus saya beli di sini: kertas marmer biru. Di Jakarta kertas marmer yang nggak mengkilat itu sudah punah. Maka, setelah semua pasukan mandi pagi, kami meluncur ke toko buku. Dapat! Harganya cuma gopek selembar gedhe. Yaudah beli 10 biji buat persediaan nyampulin buku-buku yang berhubungan dengan PIA.

Dari toko buku kita ke komplek pertokoan Pasar Kendal. Di sana ada warung makan langganan kami dulu yang menyediakan masakan Jawa. Wow...ternyata masih ada. Meski ganti pemilik, kokinya nggak berubah. Jadi rasa masakan tetap sama dengan 3-4 tahun yang lalu. Saya beli mangut kepala ikan manyung super pedas yang hanya tinggal 2 dan tumis jantung pisang. Sementara anak-anak hanya minta telur ceplok, nggak nyusahin ortu banget nih.

Saat melewati rumah tempat tinggal saya dulu (sekaligus tempat saya dilahirkan), hubby ngingetin, “Mampir ke rumah Bulik Mamik, yuk.” Rumah Bapak saya dan Bulik memang bersebelahan. Dari sembilan bersaudara keluarga Bapak saya, hanya tinggal Bulik Mamik yang masih ada. Yang lain sudah berpulang. Oh, ya, rumah Bapak itu rumah peninggalan dari Simbah. Setelah Ibu saya meninggal, rumah itu dijual dan hasilnya dibagi-bagi ke anak cucu Simbah. Sekarang rumah itu ganti pemilik, rumah lama dirubuhkan dan menjelma jadi rumah modern nan mungil.

Karena ingat Bulik barusan pulang dari tanah suci, maka saya memutuskan untuk mampir. Bulik menyambut hangat kehadiran kami sekeluarga. Nabil malah langsung minta makan dengan telor ceplok yang dibeli di pasar. Yaudah, nasi catering Bulik yang cuma sepiring habis disantap si kecil. Setelah ngobrol lama soal ibadah haji Bulik kemarin dengan putrinya, kami pamit. Pesan Bulik, “Kalo ke Kendal, jangan lupa tengok Bulikmu satu-satunya ini.” Insya Allah, Bulik.

Malam hari setelah semua sholat Isya, kami sekeluarga balik ke Jakarta. Di dalam Xenia ada 2 tambahan penumpang, yaitu Bram (keponakan saya yang seumuran Brian) dan Fitri (pembantu untuk adik suami yang di Bogor). Alhamdulillah, jalanan nggak sepadat kemarin. Jadi pak sopir langsung tancap gas, wus...wus...wus...Sampai-sampai si Fitri hoek-hoek sepanjang jalan. Eh, ternyata dia nggak pernah bepergian jauh. Kasihan lihat orang mabuk darat gitu. Pasti tersiksa banget selama 10 jam-an naik mobil.

25 Desember
Alhamdulillah, akhirnya jam 6 pagi rombongan telah sampai di Bogor. Setelah berbincang-bincang sebentar dengan Ibu dan adik suami, semua anggota rombongan langsung teler alias tidur sekenanya. Saya dan hubby di ruang tamu, ketiga ABG di ruang tengah depan TV, hanya Nabil yang asyik bermain dengan 2 sepupunya.
Jam 11 kami bangun, mandi, sarapan, trus jalan lagi menuju rumah tercinta di Halim Perdanakusuma. Lima hari nggak liat rumah, rasanya gimana gitu. Walau kondisinya masih berantakan, tapi kami sekeluarga nyaman berada di dalamnya. Di dalamnya ada 5 karakter unik maha karya Sang Pencipta. Di situlah tempat kami belajar menghargai perbedaan-perbedaan yang ada. My sweet home, I miss you...now, I’m coming!



Selasa, 01 Januari 2013

Ada Apa di Festival Pembaca Indonesia, 9 Desember 2012

21.14 0 Comments

Penasaran dengan judul festival, mendorong saya datang ke  Plaza Festival, GOR Brojo Soemantri, Kuningan, Jakarta. Niat saya lainnya adalah memegang langsung buku Endless Love, di mana saya ikut berkontribusi sebagai salah satu penulisnya. Saya sampai di sana jam 2-an dengan mengajak si kecil yang kondisinya nggak enak badan.

Stand pertama yang saya cari tentu stand WSC, komunitas ibu-ibu penulis yang menerbitkan Endless Love. Sayang, sampai di sana saya diberitahu kalau bukunya habis, karena cuma membawa beberapa buku saja. Ya, sudahlah, yang penting bisa kopdaran dengan ibu-ibu WSC seperti Lv Deka Amalia, uni Rita, Nadrah, Dyah P Rinni, dan Nita. Mbak Deka nyaranin saya untuk foto sambil megang buku EL, "Yang penting sudah megang bukunya, hehehe..." Jadilah saya foto dengan Mbak Hikarima Nisa, klik...!



Setelah ngobrol-ngobrol sejenak dan sempat megang plus buka-buka buku Endless Love, saya ijin berkeliling pameran. Oh, ternyata seperti ini yang namanya Festival Pembaca Indonesia. Meski standnya sedikit dan terlihat pameran kecil-kecilan, tapi banyak hal menarik yang saya lihat. Ada beberapa stand perpustakaan/ taman bacaan (Gudang Buku Kecil, Rumah Cerdas Kreatif, Reading Walk), stand komunitas ( WSC, Magami Collectibles, Kelontong Sihir, Kaskus Serapium, Blogger Buku Indonesia), stand fiksi fantasi, dll.



Sebenarnya saya mendapat kesempatan mengikuti workshop “Berkreasi dengan Kokoru” di Tenda Workshop. Sayang saya baru tahu setelah sampai di rumah, ketika membuka email. Lagipula, saat berkeliling-keliling stand, tiba-tiba suami sms, meminta saya kembali ke mobil karena si kecil demam tinggi. Oh, ya, saya juga sempat melihat tenda putih kecil yang  memutar film yang diangkat dari buku. Sayang, lagi-lagi jamnya nggak tepat dengan kedatangan saya (belum jodoh, kali). Ini dia penampakannya...


Meski cuma sebentar mengunjungi FPI 2012, tapi saya sempat foto-foto di pintu masuk. Itu mah acara wajib emak-emak narsis, hehehe...Tapi jujur loh, sepulang dari acara itu saya berpikir, bisa nggak ya, Pika Pika Comic, taman bacaan di rumah itu tampil di acara FPI tahun berikutnya? Mimpi kan boleh saja, mumpung gratis dan nggak kena pajak. Ya to...ya to...?



Nuansa Oranye di Nova Inspiring Day

20.48 1 Comments

Bertempat di Graha Jala Puspita, Jl. Gatot Subroto Kav 101, pada hari Rabu, 19 Desember 2012, Tabloid Nova bekerja sama dengan Tupperware, Bimoli, Honda, dan Harpic mengadakan acara Nova Inspiring Day. Temanya pas banget dengan suasana menjelang Hari Ibu yaitu Super Mom. Yang hadir semuanya super mom. Mulai dari pengisi acara ( Ibu Siska Soewitomo, Ibu Rieny Hasan, dan Ibu Yeni Ismayani), para penari ( mantan penari istana jaman Pak Harto yang tergabung dalam grup Eka Sangka), para peragawati (ibu-ibu dari berbagai organisasi), maupun para tamu undangan. Mereka adalah ibu-ibu anggota Persit Kartika Chandra Kirana, Jala Senastri, PIA Ardhya Garini, Bhayangkari, Dharma Wanita, PKK, guru, dan berbagai komunitas perempuan.




Acara diawali pukul 09.30 dengan tari kipas dari grup Eka Sangka. Dilanjutkan bincang-bincang psikologi dengan Ibu Rieny Hasan dengan tema (lagi-lagi) tentang Super Mom, ya iya lah. Setelah menjawab sebagian pertanyaan dari ibu-ibu yang sangat antusias itu, ada kesimpulan yang sangat bagus. Kira-kira begini: bintang tampak cemerlang karena langit di belakangnya gelap. Burung elang sebenarnya bisa mencapai umur 70 tahun. Tapi di usia 30 tahun, paruhnya akan mencapai dada dan bulunya menebal sehingga membuatnya sulit terbang dan mencari makan. Untuk tetap survive, dia harus rela tinggal di tebing yang tinggi, mencabuti bulu-bulunya, dan menabrakkan paruhnya pada tebing agar patah hingga tumbuh paruh baru. Artinya setiap wanita bisa jadi super mom, asalkan dia  bisa menghadapi segala cobaan, hambatan, rintangan yang ada di hadapannya dan mau berusaha menjadi yang terbaik.



Berikutnya, Bu Siska Soewitomo hadir dengan 2 resep masakan sederhana yang dimasak dengan produk baru Tupperware, Micro Cooker. Namanya Nasi Ayam Rempah dan Wedang Meriah. Usai demo masak acara dilanjutkan dengan peragaan busana dari kain tenun karya Stephanus Hamy. Demo masak kedua dibawakan oleh Ibu Yeni Ismayani. Beliau mempraktekkan 2 resep menggunakan wajan penggorengan produk Tupperware, TChef Fry Pan. Nama gorengannya Pastel Teratai Daging Lada Hitam dan Fruit Friters Saus Caramel. Selesai acara dibagikan berbagai doorprize dari semua sponsor. Saking luamanya acara, saya sampai mengantuk dan...ketahuan sama MC. Malu tapi gimana lagi, saya benar-benar nggak bisa nahan. Asal tahu saja, semalaman saya mencari KTP saya yang hilang. Pake acara bongkar-bongkar rak segala, eh...nggak ketemu juga.



Ketika saya dan kakak saya ambil wudhu di mushola lantai 2, ternyata acara dinyatakan selesai. Tetep sholat dulu, kan sudah jam 2 lebih, nanti keburu Ashar. Alhamdulillah, akhirnya pulang juga. Meski tak satu pun rombongan kami yang mendapat doorprize, gak papa lah. Yang pasti kami pulang membawa ilmu, pengalaman, dan... goodybag, tentu (hehehe...edisi menghibur diri). Oh, ya, ini foto yang sempat diambil sebelum acara dimulai. Kami tiba di TKP jam 08.00 saat yang datang masih sedikit. Setengah jam kemudian, ruangan langsung terisi penuh dengan ibu-ibu berbaju nuansa oranye.