Jumat, 18 Januari 2013

# curhat

Banjir...oh, banjir...


Seharian ini isi berita di televisi tentang banjir semua. Mungkin di koran juga, maklum saya nggak langganan koran. Jakarta dikepung banjir, lah. Beberapa perumahan di Bekasi dan Tangerang terendam banjir, lah. Untung Halim nggak banjir, cuma rumah saya bocor di mana-mana. Maklum rumah dinas yang kebanyakan penghuninya males memperbaiki. Kan itu rumah milik negara, bukan rumah sendiri (ngeles).

Status teman-teman FB juga tentang banjir. Kayaknya banjir kali ini merata, ya? Saat melihat foto banjir di FB mantan tetangga di rumah tempat kelahiran saya dulu, tiba-tiba....duaarr! Saya yakin foto itu diambil dari jalan Pemuda, jalan yang dilewati semua kendaraan yang melintas dari Semarang menuju Pekalongan. Perasaan jadi berkecamuk, pikiran seperti kembali ke beberapa puluh tahun yang lalu, saat saya masih tinggal di rumah itu.



Saya lahir di sebuah rumah kecil di dalam gang sempit (lihat foto sebelah kiri, ada gapura hitam, kan?). Rumah itu peninggalan kakek, orang tua dari Bapak. Letaknya hanya beberapa ratus meter dari Kantor dan rumah dinas Bupati Kendal. Luasnya 12 x 6 meter persegi. Dindingnya dari papan. Lantainya sejajar dengan jalan gang. Lantai rumah tetangga semuanya lebih tinggi dari jalan gang. Bisa ditebak, setiap banjir datang pasti rumah kami yang pertama kemasukan air. Padahal banjir itu datangnya rutin setiap tahun. Ya, beginilah resiko punya rumah dekat sungai. Karena banyak yang buang sampah di sungai, trus sungai mengalami pendangkalan. Ya...sudah deh, banjir lagi...banjir lagi...

Banjir seolah jadi sahabat karib saya, yang setiap tahun selalu kangen dan datang ke rumah saya. Kalau hujan tiga hari berturut-turut, sudah dipastikan si banjir bakal datang. Tengah malam, tiba-tiba terjaga oleh suara titir alias kentongan kayu yang dipukul para peronda sebagai tanda bahaya/ bencana. Sesekali  terdengar teriakan, “Banjir...Banjir...!” Saat menurunkan kaki ke lantai...krubyuuuk! Ternyata air sudah masuk ke rumah kami. Ya, Allah, datangnya air ini kok cepat sekali. Pernah saya menyaksikan sendiri, air tiba-tiba masuk ke dapur yang lantainya lebih rendah. Dalam hitungan detik, air deras terus masuk hingga akhirnya merendam seluruh lantai rumah kami.

Yang lebih menyedihkan kalau malam tiba. Listrik biasanya padam. Yang bisa saya lakukan hanya berdiam diri di atas tempat tidur. Kalau ada PR, maka saya mengerjakannya di bawah penerangan lampu teplok (yang bahan bakarnya minyak tanah). Pernah juga, rumah kebanjiran saat Bapak sedang opname di rumah sakit. Beliau heran melihat saya yang nggak pernah menginap, tiba-tiba tidur berdesakan berdua dengan Ibu di kasur samping Bapak. “Tumben kamu mau tidur di rumah sakit? Rumah kita kebanjiran, ya?” Walau sebenarnya ingin menyembunyikan kondisi rumah, Bapak toh akhirnya tahu juga.

Tahun 1992, Kendal pernah banjir besar. Di rumah saja air masuk setinggi lutut. Sebagai pegawai yang masih baru, saya takut bolos kerja. Akhirnya saya nekat tetap berangkat, meski harus menembus banjir. Sampai di kantor, ternyata kondisi lebih parah. Kantor kemasukan air satu meter. Astaghfirullah...

Sekarang, melihat banjir yang melanda Jakarta, membuat saya harus banyak bersyukur. Tempat tinggal kami, Halim Perdanakusuma, nggak kebanjiran. Saya juga sudah nggak kerja kantoran, jadi nggak perlu bersusah payah menerobos banjir demi sampai ke tempat kerja. Rasa sedih akibat beberapa barang dan majalah yang basah kena bocoran air hujan, nggak sebanding dengan penderitaan saudara-saudara yang tinggal di pengungsian. Meski nggak pernah tinggal di pengungsian, tapi saya bisa merasakan ketidaknyamanan tinggal di tempat yang nggak hommy. Semoga banjir segera berakhir dan mereka bisa segera pulang ke rumah masing-masing. Amiiin.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar