Seharian ini isi berita di televisi tentang banjir semua.
Mungkin di koran juga, maklum saya nggak langganan koran. Jakarta dikepung
banjir, lah. Beberapa perumahan di Bekasi dan Tangerang terendam banjir, lah.
Untung Halim nggak banjir, cuma rumah saya bocor di mana-mana. Maklum rumah
dinas yang kebanyakan penghuninya males memperbaiki. Kan itu rumah milik
negara, bukan rumah sendiri (ngeles).
Status teman-teman FB juga tentang banjir. Kayaknya banjir
kali ini merata, ya? Saat melihat foto banjir di FB mantan tetangga di rumah
tempat kelahiran saya dulu, tiba-tiba....duaarr! Saya yakin foto itu diambil
dari jalan Pemuda, jalan yang dilewati semua kendaraan yang melintas dari
Semarang menuju Pekalongan. Perasaan jadi berkecamuk, pikiran seperti kembali
ke beberapa puluh tahun yang lalu, saat saya masih tinggal di rumah itu.
Saya lahir di sebuah rumah kecil di dalam gang sempit (lihat
foto sebelah kiri, ada gapura hitam, kan?). Rumah itu peninggalan kakek, orang
tua dari Bapak. Letaknya hanya beberapa ratus meter dari Kantor dan rumah dinas
Bupati Kendal. Luasnya 12 x 6 meter persegi. Dindingnya dari papan. Lantainya
sejajar dengan jalan gang. Lantai rumah tetangga semuanya lebih tinggi dari
jalan gang. Bisa ditebak, setiap banjir datang pasti rumah kami yang pertama
kemasukan air. Padahal banjir itu datangnya rutin setiap tahun. Ya, beginilah
resiko punya rumah dekat sungai. Karena banyak yang buang sampah di sungai,
trus sungai mengalami pendangkalan. Ya...sudah deh, banjir lagi...banjir
lagi...
Banjir seolah jadi sahabat karib saya, yang setiap tahun
selalu kangen dan datang ke rumah saya. Kalau hujan tiga hari berturut-turut,
sudah dipastikan si banjir bakal datang. Tengah malam, tiba-tiba terjaga oleh
suara titir alias kentongan kayu yang dipukul para peronda sebagai tanda
bahaya/ bencana. Sesekali terdengar
teriakan, “Banjir...Banjir...!” Saat menurunkan kaki ke lantai...krubyuuuk!
Ternyata air sudah masuk ke rumah kami. Ya, Allah, datangnya air ini kok cepat
sekali. Pernah saya menyaksikan sendiri, air tiba-tiba masuk ke dapur yang
lantainya lebih rendah. Dalam hitungan detik, air deras terus masuk hingga
akhirnya merendam seluruh lantai rumah kami.
Yang lebih menyedihkan kalau malam tiba. Listrik biasanya
padam. Yang bisa saya lakukan hanya berdiam diri di atas tempat tidur. Kalau ada
PR, maka saya mengerjakannya di bawah penerangan lampu teplok (yang bahan
bakarnya minyak tanah). Pernah juga, rumah kebanjiran saat Bapak sedang opname di
rumah sakit. Beliau heran melihat saya yang nggak pernah menginap, tiba-tiba
tidur berdesakan berdua dengan Ibu di kasur samping Bapak. “Tumben kamu mau tidur di rumah sakit? Rumah kita kebanjiran,
ya?” Walau sebenarnya ingin menyembunyikan kondisi rumah, Bapak
toh akhirnya tahu juga.
Tahun 1992, Kendal pernah banjir besar. Di rumah saja air
masuk setinggi lutut. Sebagai pegawai yang masih baru, saya takut bolos kerja.
Akhirnya saya nekat tetap berangkat, meski harus menembus banjir. Sampai di
kantor, ternyata kondisi lebih parah. Kantor kemasukan air satu meter. Astaghfirullah...
Sekarang, melihat banjir yang melanda Jakarta, membuat saya
harus banyak bersyukur. Tempat tinggal kami, Halim Perdanakusuma, nggak
kebanjiran. Saya juga sudah nggak kerja kantoran, jadi nggak perlu bersusah
payah menerobos banjir demi sampai ke tempat kerja. Rasa sedih akibat beberapa
barang dan majalah yang basah kena bocoran air hujan, nggak sebanding dengan penderitaan saudara-saudara yang tinggal di pengungsian. Meski nggak pernah
tinggal di pengungsian, tapi saya bisa merasakan ketidaknyamanan tinggal di
tempat yang nggak hommy. Semoga banjir segera berakhir dan mereka bisa segera
pulang ke rumah masing-masing. Amiiin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar