Kamis, 31 Januari 2013

# curhat

Belajar dari Para Ibu di Jepang



Dalam ajaran Islam sebenarnya sudah dijelaskan bahwa Ibu adalah sekolah pertama bagi anak-anaknya. Al ummu kal madrasatul ula. Tapi kenyataannya banyak para ibu di Indonesia (yang mayoritas muslimah) nggak ngeh dengan hal itu. Nggak jauh-jauh contohnya, ya saya sendiri.  Sejak umur 20 tahun saya sudah bekerja, kemudian di usia 25 tahun menikah, dan setahun kemudian menjadi seorang ibu. Saking sibuknya, saya sampai nggak sempat mendidik anak-anak dengan tangan saya sendiri. Sebagian besar saya serahkan pada tangan orang lain.

Sejak usia sebulan, anak-anak saya tinggal bekerja. Waktu untuk mereka hanya sore sampai malam. Itu pun dengan sisa tenaga yang sudah terkuras habis sejak pagi. Saat masuk usia sekolah, sengaja saya pilih sekolah Islam, agar para guru bisa mengajari anak saya doa dan adab kegiatan sehari-hari seperti makan ,minum ,dan berpakaian. Agar mereka tahu apa bacaan sholat. Agar mereka bisa mengenal angka dan huruf. Astaghfirullah...apa yang saya lakukan bertolak belakang dengan para ibu di Jepang yang kebanyakan malah non muslim.

Menjelang persalinan, perempuan Jepang memilih meninggalkan pekerjaan dan memutuskan menjadi ibu rumah tangga. Sebagian memutuskan bekerja kembali paruh waktu setelah berusia 40 tahun. Bagi mereka, tiga tahun pertama adalah masa paling penting untuk meletakkan dasar pendidikan pada anak. Dan, lihatlah hasilnya. Anak-anak menjadi pribadi yang santun, disiplin, dan cerdas. Mereka sangat sayang dan kagum kepada ibunya. Bahkan menganggap ibu mereka jelmaan Dewi Amaterasu yang sangat dipuja oleh bangsa Jepang.

Sudah tiga tahun terakhir ini saya berhenti bekerja. Niat saya sih ingin agar punya lebih banyak waktu untuk mengurus ketiga anak saya. Tapi kenyataannya...susah. Saya tetap saja sering meninggalkan mereka untuk urusan pribadi maupun organisasi. Saya tetap saja sering nggak masakin mereka karena asyik dengan kesibukan saya sendiri. Saya tetap saja nggak sabar ngajarin mereka tentang hal-hal yang mereka ingin tahu.

Saya sadar, saya memang bukan ibu yang baik. Kado-kado yang diberikan suami, anak-anak, dan keponakan di hari Ibu kemarin, semakin membuat hati saya teriris-iris. Hiks...maafkan, Ummi, ya. Tapi percaya, deh, Ummi akan selalu berusaha untuk menjadi istri yang menentramkan hati suami, menghangatkan keluarga, dan menjadi apa pun yang anak-anak mau.

Ini dia penampakan cokelat dari Abi, buku dari Nabila, dan kerudung dari Rani, keponakanku:








Buat dua jagoan, mana kado buat Ummi, hehehe...nggak ding. Ummi cuma pengin kalian berdua jadi anak yang sholeh, nurut kata Abi dan Ummi, dan jangan maiiiin terus.

(Tulisan ini seharusnya diposting pas tgl.22 Desember 2012. Gapapa, biar telat asal dibaca dengan cermat sambil makan ketupat di kursi lipat sambil kipat-kipat* maksa)

1 komentar:

  1. waaah... ummi so sweet... Alhamdulillah. envy baca ceritanya ummi :3 hhihi... *padahal saya belum jadi ibu2*
    itulah kesuksesan utama buat perempuan ya um. Semoga suatu saat nanti saya bisa mendidik anak2 saya seperti itu.

    BalasHapus