Selasa, 20 Agustus 2013

Cerita Mudik (Terakhir) Kami...bagian 2

14.03 0 Comments
Rabu, 7 Agustus 2013

Sesuai kesepakatan bersama, sore sehabis sholat Ashar, saya dan kedua kakak saya yang tinggal di Semarang ketemuan di bawah pohon kamboja. Ya, kami mengunjungi makam kedua orang tua kami. Ketika rombongan keluarga kami datang, Mas Win, kakak pertama saya sudah berada di makam dengan istri dan ketiga anaknya. Tampak pula Bulik Mamik, adik Bapak satu-satunya yang masih ada, berada di makam suaminya. Kami berdoa bersama dipimpin Mas Win. Tak lama kemudian rombongan keluarga kakak kedua datang.

Saat melihat pusara Bapak dan (terutama) Ibu, air mata rasanya sulit dibendung. Kangen dan sedih jadi satu. Apalagi saat ramadhan kemarin, saya pernah mimpi bertemu dengan mereka berdua. Rasanya seperti nyata, kami sekeluarga berbincang hangat, entah apa yang sedang kami bincangkan. Bapak, Ibu, maafkan kesalahan anakmu, maafkan kalau anakmu tak sempat membuatmu bahagia. Semoga kalian berdua tenang di sisi-Nya, mudah-mudahan kita nanti dipertemukan di surga-Nya. Amin.

makam Bapak

makam Ibu


Pulang dari makam, kami langsung menuju rumah Bulik Mamik untuk sungkeman. Suasana haru menyeruak saat kami (kakak pertama, kakak kedua, dan saya) bersimpuh di kaki Bulik kami satu-satunya itu. Sebelum pulang kami berfoto bersama di depan rumah. Oh, ya, Bulik tampak senang saat suami mengatakan kalau kami akan balik lagi tinggal di Kendal.

tiga saudara


Kami tiba lagi di rumah mertua pas adzan Maghrib. Alhamdulillah, menu buka puasa terakhir ini sangat....istimewa * Cherrybell mode on. Mbak Tri dan Mas Bayu membuatkan lontong tahu campur pesanan suami. Beberapa hari ini suami memang pengin banget makan tahu campur buatan Pak Amin, favoritnya. Tapi kami nggak tau lagi keberadaan Pak Amin, warungnya sudah tutup. Rasa sambal kacang buatan Mbah Kakung nggak kalah lezatnya dengan buatan Pak Amin kan, Beib...

Mbak Tri dan Mas Bayu juga bikin rica-rica menthok pesenan Dik Bambang, adik iparnya. Hihihi...dasar adik-adik tak tau diri, sukanya ngerjain kakaknya. Salah sendiri sang kakak pinter masak, baik hati, dan penurut. Maaf ya, Mbak, Mas *sungkem.

Tiba-tiba Mas Budi, kakak kedua suami mengabarkan kalo mau sungkeman malam ini. Tumben...biasanya, dia kan ke rumah keluarga istrinya dulu, baru pagi hari setelah sholat Ied sungkeman sama Bapak Ibu. Ya, sudah, kami nurut saja. Mas Budi kan yang paling sibuk, pasiennya mengalir nggak pernah berhenti.

Jam 8 lebih, barulah pasukan dalam formasi lengkap. Acara sungkeman pun dimulai. Satu per satu dari anak pertama sampai ke-5 (yang ke-6 nggak mudik), sungkem pada Bapak Ibu. Acara berikutnya, yang paling ditunggu anak-anak: bagi-bagi angpao. Hore...! Untuk mendapatkan angpao dari Mbak Tri dan Dik Tutik ternyata nggak mudah, perlu perjuangan. Bayangkan, anak-anak ditanya: siapa nama asli Mbah Kakung, Mbah Putri, bapaknya Mbah Kakung, bapaknya Mbah Putri, sampai siapa pacar Kak Shelvi. Hahaha...ada-ada saja.

sungkeman

lima saudara



Kamis, 8 Agustus 2013

Masjid di samping rumah, kalau sholat Ied, jamaahnya hanya untuk laki-laki. Yasudah...lagipula saya dan Nabila sedang berhalangan. Jadi acaranya hari ini hanya makan, tidur, dan menemui tamu yang masih kerabat dan saudara. Bapak kan dulu mantan Kepala Desa yang lama berkuasa. Saudara dari Bapak dan Ibu juga banyak, jadi tamu yang datang juga banyak.

Malam hari, suami mengajak saya mengunjungi teman seperjuangannya saat datang ke rimba Jakarta dulu, Mas Dayat. Kebetulan adik Mas Dayat, Imron, adalah teman SMA kami. Jadi kami berbincang hangat bersama malam itu. Tiba-tiba, suami ngajak pulang karena ada sms dari rumah, kalau Ibu ngajak silaturrahim ke rumah saudara-saudaranya.

Sempat bete karena harus menunggu Ibu yang masih nyiapin ini itu dulu. Saya pikir ketika sampai di rumah, Ibu sudah siap berangkat ke rumah saudaranya. Tapi kata suami, “Aku pulang kan ingin menyenangkan Bapak Ibu. Jadi ya nurut saja, apa mau mereka. Sabar, ya.” Sudah bisa ditebak, karena sudah jam 9, beberapa rumah yang kami kunjungi sepi, penghuninya sudah tidur. Beberapa, masih ada yang belum tidur, jadi kami sempat berbincang-bincang sebentar.

Jumat, 9 Agustus 2013

Rencana reuni dengan teman-teman SMA batal, koordinatornya masih berada di luar kota, di rumah mertua masing-masing. Jadilah suami tidur aja seharian. Saya sih, ngerjain kain felt dan katun yang saya bawa dari Jakarta. Alhamdulillah, jadi beberapa bros dan boneka felt karakter.

Menjelang Maghrib, Ibu mengajak kami ke rumah saudara-saudara Bapak. Dilanjut, setelah sholat Maghrib, ke rumah Kakak Ibu yang tinggal terpencar dari saudara lainnya. Anak-anak biasa memanggilnya Mbah Mami. Dia merupakan favorit anak-anak karena selalu memberi angpao paling banyak dibandingkan saudara Bapak Ibu lainnya, hahaha...

Pulang dari Mbah Mami, kami mampir ke alun-alun kota Kendal tercinta. Menikmati bakso dan mie ayam di pojokan, dilanjut ngajak para balita naik odong-odong berbentuk angsa yang menyala karena ada lampu di sepanjang rangka besinya.

Sabtu, 10 Agustus 2013

Pagi, lagi asyik-asyik jahit kain, tiba-tiba Siti (teman SD sampai SMA saya), mengabarkan kalau di sedang berada di rumah Mas Budi. Anak sulungnya dikhitan. Saya dan suami segera menemuinya. Ngobrol-ngobrol sebentar, kami pun berpisah.

Tiba-tiba, datang kabar lagi kalau anaknya Yuni (keponakan yang pernah bekerja di rumah saya dulu), anaknya juga dikhitan. Uniknya lagi, ketika kami bersama Ibu mengunjungi rumah mertua Yuni, saya bertemu Siti. Oh, ternyata suami Yuni dan Siti saudara kandung. Anak mereka berdua dikhitan bareng, yang mengkhitan ya Mas Budi. Jadi....? Bingung, kan? Pokoknya, sekarang saya dan Siti ada hubungan saudara, meski jauuuuh. Titik.

Sebelum Maghrib, kami pamitan pada Bapak Ibu untuk balik ke Jakarta. Kami mampir dulu ke RSS, ke rumah Pak Dadang dan Pak Suko. Pada keduanya, kami mengutarakan niat kami untuk tinggal lagi di rumah kami. Alhamdulillah, sambutannya baik. Pak Dadang mau membantu kami mengecat dan memperbaiki bagian rumah yang rusak. Pak Suko yang sekarang bukan Pak RT lagi, tak sabar menunggu suami kembali ngumpul di gardu RT. Kalo cuma ngumpul boleh, kalo main kartu jangaaaan, Pak.

Usai sholat Maghrib di Masjid Agung Kendal dan makan mie ayam di pojokan, kami balik ke Jakarta. Selamat tinggal, Kendal tercinta, beberapa bulan lagi kami akan kembali ke sini. Seperti kata Pak Bibit Waluyo, bali deso, mbangun deso *halah.




Rabu, 14 Agustus 2013

Cerita Mudik (Terakhir) Kami...bagian 1

07.19 0 Comments
Sabtu, 3 Agustus 2013

Ini adalah mudik ke-5 yang mungkin juga mudik terakhir saya ke kampung halaman. Kenapa mudik terakhir? Karena saya dan suami berencana awal tahun 2014 akan balik lagi tinggal di kampung. Ups...nggak usah dibahas dulu, tunggu cerita pastinya aja nanti.

Mudik kali benar-benar seperti berada di Lost World* hihihi...lebay. Bayangin, saat berusaha lewat jalur pantura, selalu dialihkan petugas ke jalur alternatif. Awas kau, Pak Polisi, bikin kami nyasar nggak karuan. Kami harus melewati Sumedang dan Majalengka, sebelum akhirnya ketemu tol Palimanan. Mending kalo tengah kota, ini seperti lewat di sisi bukit atau gunung. Jalannya berkelok-kelok, naik turun, kanan kiri cuma ada sawah, ladang, dan hutan. Untung ada GPS di mobil, kami percaya aja meski medannya sulit. Bayangin, jalannya sempit dan rusak, nggak ada petunjuk jalan, lagi. Bahkan di GPS kadang terlihat posisi mobil di tengah lapangan hijau, bukan di jalan yang warnanya merah. Sampai saya berkomentar, ”Jangan-jangan, jalan ini sebenarnya nggak ada alias jalan horor.” Bukannya takut, Nabila malah ngakak mendengar komentar saya.

Alhamdulillah, pas adzan Maghrib, kami pas tiba di kota Tegal. Dan itu artinya, kami bisa mampir ke rumah Mbak Tri, kakak kandung suami yang tinggal di sana. Asyik...makan gratis. Mana Mbak Tri dan Mas Bayu, suaminya, sama-sama jago masak lagi. Maka dalam hitungan menit, es teh, sup jagung, bakwan jagung, dan tahu asin, tandas tak bersisa karena pindah posisi ke perut kami.

Kami sholat Maghrib dan istirahat sebentar, sebelum berlanjut ke kota Kendal tercinta. Sampai di rumah mertua tepat jam 12 teng! Dibanding tahun kemarin yang 30 jam, mudik kali ini lebih lancar. Kami berangkat dari Jakarta usai sholat Subuh. Coba hitung sendiri berapa jam?

Senin, 5 Agustus 2013

Nabila minta dianterin bukber sama teman SD-nya di Taman Garuda. Saya dan suami sih oke-oke aja, sekalian menikmati suasana alun-alun kota tercinta. Jam 5 menuju TKP dan ketemulah Nabila sama 4 temannya. Waktu lulus SD, ceweknya memang cuma 4 orang, jadi sampai sekarang mereka kompak banget, meski beda sekolah. Satu orang lagi, Wardah, hanya sempat setahun sekolah di SDIT Robbani saat bapaknya tugas belajar di Semarang. Setelah itu dia balik lagi ke Makasar.

Kami nungguin kelima ABG buka bersama, sementara saya, suami, dan Sakroni ( bapaknya Wardah), buka tak jauh dari mereka. Oh ya Sakroni itu teman SMA sekaligus teman suami kuliah di APRO dulu. Jadi mereka berdua asyik banget ngobrolnya. Saya mah ngobrol aja sama si kecil, Nabil.

Usai makan takjil, sholat Maghrib di masjid Agung Kendal, dilanjut foto-foto di alun-alun. Karena Nabil teriak-teriak minta makan, kami bertiga lanjut makan nasi kucing di seputar alun-alun. Sementara kelima ABG masih ingin reuni mengenang masa lalu dengan ngobrol-ngobrol di lapangan. Ya sudah, lanjut aja, Gals...

5 muslimah keren



me & Nabil


Selasa, 6 Agustus 2013

Kali ini, Dik Tutik, adik suami, yang ngajak kami semua buka bersama. Berhubung tahun ini liburnya lebih banyak sebelum Lebaran, ya...makan-makannya menyesuaikan, sebelum Lebaran juga. Setelah berdiskusi sana sini dipilihlah Rumah Makan Lik Di yang letaknya di jalan tembus sebelum perempatan Patebon, sebagai tempat reuni keluarga. Jam 5 teng, pasukan dengan 2 mobil menuju TKP. Berhubung pasukannya banyak, sengaja pesan tempat yang lesehan, biar bebas dan leluasa.

Ketika sirine tanda buka puasa berbunyi, pasukan kami terutama anak-anak langsung berdoa dengan keras, “Allahumma lakasumtu....” Sampai pengunjung lain menatap kami dan mungkin dalam hati mereka teriak, “Woi...ini rumah makan, bukan TK atau play group.” Hahaha...yuk ah, buka puasa dulu. Aneka sea food sudah menanti untuk disantap.


Pasukan udah segini banyak ternyata belum formasi lengkap. Rombongan kedua datang, 4 ABG naik sepeda motor menyusul. Tak lama kemudian Mbak Tri dan Mas Bayu, dari Tegal langsung menuju tempat bukber juga. Maka Mbak Kakung (bapak mertua saya) pun segera memberi ular-ular alias wejangan alias nasehat kepada istri, anak, menantu, dan cucu-cucunya. Intinya, anak harus berbakti kepada orang tua, agar hidupnya berkah dan sukses. Tuh, dengerin, Nak, betul nasehat Mbah Kakung, keenam anak Mbah Kakung dan Mbah Putri sukses karena mereka taat dan berbakti pada orang tuanya.

nunggu formasi lengkap

cucu-cucu Simbah

trio ABG galau

Nabila & emaknya

nah...ini formasi lengkap

Ceritanya belum kelar ya, to be continued, gitu. Tunggu, jangan ke mana-mana, saya akan kembali setelah pesan 4 mangkuk bubur ayam buat sarapan.

Jumat, 02 Agustus 2013

Satu Pohon Seribu Komentar

14.21 5 Comments
Saat menempati rumah dinas di kawasan Halim tahun 2009 silam, saya benar-benar surprise. Bayangkan, di sebelah rumah ada kelebihan tanah yang lumayan luas. Bisa dibuat satu rumah lagi, sepertinya. Tapi karena letaknya di tikungan, oleh yang berwenang dibiarkan kosong. Teman anak saya jadi sering main ke rumah untuk bersepeda di sana. Maklum halaman rumah mereka tak seluas halaman rumah kami.



Dan pepatah “Siapa menanam, akan menuai” sepertinya tidak pas dengan kondisi saya. Karena penghuni lama yang menanam aneka buah, saya yang memetik hasilnya, hehehe...Ada banyak tanaman di kebun samping rumah saya. Pepaya, pisang, rambutan, durian, kelapa, belimbing, dan sirkaya. Ada juga pandan dan jeruk purut yang daunnya bisa  membuat masakan jadi tambah harum.

Ah, ada satu pohon lagi yang belum saya sebutkan. Pohon inilah yang akan saya ceritakan di episode kali ini. Beberapa hari setelah menempati rumah, saya curhat pada kakak perempuan saya yang tinggal di Bekasi.
“Mbak, di rumahku ada pohon duwet loh.”
“Oh, ya. Wah, kapan-kapan aku mau ngajak muridmu main ke rumahmu ah.”
“Lha, emangnya kenapa?”
“Kemarin, ada seorang muridku yang bertanya tentang pohon itu. Aku jawab saja, nanti kalo ada Ibu tunjukkan pohon atau buahnya.”

Hehehe...pohon duwet memang termasuk tanaman langka di wilayah Jabodetabek. Bagi yang bukan orang Jawa, mungkin penasaran apa sih buah duwet itu. Duwet itu nama Latinnya: Syzygium cumini. Pohonnya tinggi, bisa mencapai 20 meter. Diameter batang pokoknya antara 10-30 cm. Buahnya berwarna hitam keunguan, rasanya sepat masam. Orang Betawi dan Sunda menyebutnya buah jamblang. Di daerah lain ada yang menyebutnya jambu keling, jambu juwad, atau jambulan. Nah, sekarang sudah tahu, kan, apa yang saya maksud dengan duwet?



 Ternyata oh ternyata, saat saya menceritakan tentang pohon duwet alias jamblang di rumah saya, banyak reaksi tak terduga dari orang-orang di sekitar saya. Ini dia komentar dari mereka yang sempat saya catat.
- Saat berkumpul dengan ibu-ibu istri rekan kerja suami, sebagai pendatang baru, saya memperkenalkan diri.
“Saya tinggal di tikungan jalan Hercules, yang halaman sampingnya luas itu. Ada pohon rambutan, pohon durian,...dan pohon jamblang.”
Seorang ibu berbisik pada saya, “Ada pohon jamblangnya? Nggak takut, Bu?”
“Emangnya kenapa?”
“Pohon jamblang biasanya ada penghuninya loh.”
- Saat kakak ipar saya yang tinggal di Semarang mampir ke rumah, dia juga berkomentar, “Itu pohon jamblang, ya? Hati-hati ya, biasanya ada penunggunya loh. Temanku pernah anaknya hilang pas waktu Maghrib. Eh, ketemunya di atas pohon jamblang.”
Waduh, sudah dua orang yang berkomentar horor. Saya jadi merinding juga. Padahal pohon itu letaknya persis di depan kamar tidur saya. Jadi setiap membuka jendela di pagi hari, pohon jamblanglah yang pertama kali saya lihat.

- Kakak lelaki saya yang tinggal di Pontianak, lain lagi komentarnya. Karena bekerja di Dinas Perkebunan, dia memenuhi halaman rumah dinasnya dengan beraneka tanaman. Saat tahu saya punya pohon jamblang, dia berkata, “Nah, ini dia yang aku belum punya. Besok aku mau minta biji atau pohon anakannya, mau aku tanam di Pontianak.”
- Sementara seorang kerabat dan seorang teman yang usianya di atas saya, saat tahu kalau saya punya pohon jamblang berkomentar, “Dik, kalau lagi berbuah, kirim ke rumah ya buahnya.” Hehehe...buah itu memang terasa enak bagi orang-orang seangkatan dengan saya atau di atasnya. Saat masih kanak-kanak, Ibu saya sering membeli buah jamblang di pasar. Sebelum dimakan, buah dicuci dan diberi garam dan gula pasir. Dikocok-kocok di mangkuk sebentar, lalu dimakan. Rasa sepatnya jadi berkurang. Sementara anak sekarang, karena begitu banyak mengenal buah-buahan manis, pasti mengatakan nggak enak alias sepat. Suami saya bahkan sampai harus memaksa ketiga anak saya untuk  mencicipinya, “Ini dicoba, rasanya enak loh, namanya anggur Jawa.” Hehehe...ada-ada saja nih si Bapak.

Sampai saat ini, pohon jamblang masih berdiri kokoh di samping rumah. Tukang rumput yang rajin memangkas ranting-rantingnya setiap bulan. Kalau dulu bisa dipetik langsung, sekarang harus memakai galah untuk mengambil buahnya. Ya, karena pohonnya semakin tinggi menjulang. Dibandingkan buah jamblang di rumah mertua, rasa buah jamblang di rumah saya lebih manis. Jadi saat berbuah, saya dan suami bisa makan buah jamblang setiap hari.

Alhamdulillah, saya juga belum pernah mengalami hal-hal aneh atau mistis seperti yang diceritakan orang tentang pohon jamblang. Menurut saya, Allah menciptakan sesuatu pasti ada manfaatnya, termasuk pohon jamblang. Beberapa penelitian menunjukkan, buah jamblang bisa menjadi obat tradisional. Bisa mengobati penyakit diare, diabetes, batuk rejan, sariawan, dan sebagai penawar racun.

Jadi intinya, apa pun komentar orang tentang pohon jamblang, saya akan tetap membiarkannya tumbuh di halaman. Selain membuat halaman jadi adem, bisa jadi sarana pembelajaran bagi anak-anak di sekitar rumah. Dalam buku PLBJ anak saya tertulis, salah satu tanaman langka di Jakarta adalah pohon jamblang. Jadi, bagi yang belum pernah melihat pohon atau buah jamblang, datang saja ke rumah saya, hehehe...

Ini dia penampakan si penunggu pohon jamblang plus sapu (nggak bisa) terbangnya. Bila pagi-pagi terdengar suara srek...srek...srek..., jangan takut. Itu berarti si penunggu sedang membersihkan daun-daun pohon jamblang yang berguguran.



 Tulisan ini diikutkan "Give Away Aku dan Pohon"-nya Mbak Arin Murtiyarini.