Rabu, 7 Agustus 2013
Sesuai kesepakatan bersama, sore sehabis sholat Ashar,
saya dan kedua kakak saya yang tinggal di Semarang ketemuan di bawah pohon
kamboja. Ya, kami mengunjungi makam kedua orang tua kami. Ketika rombongan
keluarga kami datang, Mas Win, kakak pertama saya sudah berada di makam dengan
istri dan ketiga anaknya. Tampak pula Bulik Mamik, adik Bapak satu-satunya yang
masih ada, berada di makam suaminya. Kami berdoa bersama dipimpin Mas Win. Tak lama
kemudian rombongan keluarga kakak kedua datang.
Saat melihat pusara Bapak dan (terutama) Ibu, air mata
rasanya sulit dibendung. Kangen dan sedih jadi satu. Apalagi saat ramadhan kemarin,
saya pernah mimpi bertemu dengan mereka berdua. Rasanya seperti nyata, kami
sekeluarga berbincang hangat, entah apa yang sedang kami bincangkan. Bapak,
Ibu, maafkan kesalahan anakmu, maafkan kalau anakmu tak sempat membuatmu
bahagia. Semoga kalian berdua tenang di sisi-Nya, mudah-mudahan kita nanti
dipertemukan di surga-Nya. Amin.
makam Bapak |
makam Ibu |
Pulang dari makam, kami langsung menuju rumah Bulik
Mamik untuk sungkeman. Suasana haru menyeruak saat kami (kakak pertama, kakak
kedua, dan saya) bersimpuh di kaki Bulik kami satu-satunya itu. Sebelum pulang
kami berfoto bersama di depan rumah. Oh, ya, Bulik tampak senang saat suami
mengatakan kalau kami akan balik lagi tinggal di Kendal.
tiga saudara |
Kami tiba lagi di rumah mertua pas adzan Maghrib.
Alhamdulillah, menu buka puasa terakhir ini sangat....istimewa * Cherrybell
mode on. Mbak Tri dan Mas Bayu membuatkan lontong tahu campur pesanan suami.
Beberapa hari ini suami memang pengin banget makan tahu campur buatan Pak Amin,
favoritnya. Tapi kami nggak tau lagi keberadaan Pak Amin, warungnya sudah tutup.
Rasa sambal kacang buatan Mbah Kakung nggak kalah lezatnya dengan buatan Pak
Amin kan, Beib...
Mbak Tri dan Mas Bayu juga bikin rica-rica menthok
pesenan Dik Bambang, adik iparnya. Hihihi...dasar adik-adik tak tau diri,
sukanya ngerjain kakaknya. Salah sendiri sang kakak pinter masak, baik hati,
dan penurut. Maaf ya, Mbak, Mas *sungkem.
Tiba-tiba Mas Budi, kakak kedua suami mengabarkan kalo
mau sungkeman malam ini. Tumben...biasanya, dia kan ke rumah keluarga istrinya
dulu, baru pagi hari setelah sholat Ied sungkeman sama Bapak Ibu. Ya, sudah,
kami nurut saja. Mas Budi kan yang paling sibuk, pasiennya mengalir nggak
pernah berhenti.
Jam 8 lebih, barulah pasukan dalam formasi lengkap.
Acara sungkeman pun dimulai. Satu per satu dari anak pertama sampai ke-5 (yang
ke-6 nggak mudik), sungkem pada Bapak Ibu. Acara berikutnya, yang paling
ditunggu anak-anak: bagi-bagi angpao. Hore...! Untuk mendapatkan angpao dari
Mbak Tri dan Dik Tutik ternyata nggak mudah, perlu perjuangan. Bayangkan,
anak-anak ditanya: siapa nama asli Mbah Kakung, Mbah Putri, bapaknya Mbah
Kakung, bapaknya Mbah Putri, sampai siapa pacar Kak Shelvi. Hahaha...ada-ada
saja.
sungkeman |
lima saudara |
Kamis, 8 Agustus 2013
Masjid di samping rumah, kalau sholat Ied, jamaahnya
hanya untuk laki-laki. Yasudah...lagipula saya dan Nabila sedang berhalangan.
Jadi acaranya hari ini hanya makan, tidur, dan menemui tamu yang masih kerabat
dan saudara. Bapak kan dulu mantan Kepala Desa yang lama berkuasa. Saudara dari
Bapak dan Ibu juga banyak, jadi tamu yang datang juga banyak.
Malam hari, suami mengajak saya mengunjungi teman
seperjuangannya saat datang ke rimba Jakarta dulu, Mas Dayat. Kebetulan adik
Mas Dayat, Imron, adalah teman SMA kami. Jadi kami berbincang hangat bersama
malam itu. Tiba-tiba, suami ngajak pulang karena ada sms dari rumah, kalau Ibu
ngajak silaturrahim ke rumah saudara-saudaranya.
Sempat bete karena harus menunggu Ibu yang masih
nyiapin ini itu dulu. Saya pikir ketika sampai di rumah, Ibu sudah siap
berangkat ke rumah saudaranya. Tapi kata suami, “Aku pulang kan ingin
menyenangkan Bapak Ibu. Jadi ya nurut saja, apa mau mereka. Sabar, ya.” Sudah
bisa ditebak, karena sudah jam 9, beberapa rumah yang kami kunjungi sepi,
penghuninya sudah tidur. Beberapa, masih ada yang belum tidur, jadi kami sempat
berbincang-bincang sebentar.
Jumat, 9 Agustus 2013
Rencana reuni dengan teman-teman SMA batal,
koordinatornya masih berada di luar kota, di rumah mertua masing-masing.
Jadilah suami tidur aja seharian. Saya sih, ngerjain kain felt dan katun yang
saya bawa dari Jakarta. Alhamdulillah, jadi beberapa bros dan boneka felt
karakter.
Menjelang Maghrib, Ibu mengajak kami ke rumah
saudara-saudara Bapak. Dilanjut, setelah sholat Maghrib, ke rumah Kakak Ibu
yang tinggal terpencar dari saudara lainnya. Anak-anak biasa memanggilnya Mbah
Mami. Dia merupakan favorit anak-anak karena selalu memberi angpao paling
banyak dibandingkan saudara Bapak Ibu lainnya, hahaha...
Pulang dari Mbah Mami, kami mampir ke alun-alun kota
Kendal tercinta. Menikmati bakso dan mie ayam di pojokan, dilanjut ngajak para
balita naik odong-odong berbentuk angsa yang menyala karena ada lampu di
sepanjang rangka besinya.
Sabtu, 10 Agustus 2013
Pagi, lagi asyik-asyik jahit kain, tiba-tiba Siti (teman
SD sampai SMA saya), mengabarkan kalau di sedang berada di rumah Mas Budi. Anak
sulungnya dikhitan. Saya dan suami segera menemuinya. Ngobrol-ngobrol sebentar,
kami pun berpisah.
Tiba-tiba, datang kabar lagi kalau anaknya Yuni
(keponakan yang pernah bekerja di rumah saya dulu), anaknya juga dikhitan.
Uniknya lagi, ketika kami bersama Ibu mengunjungi rumah mertua Yuni, saya
bertemu Siti. Oh, ternyata suami Yuni dan Siti saudara kandung. Anak mereka
berdua dikhitan bareng, yang mengkhitan ya Mas Budi. Jadi....? Bingung, kan? Pokoknya,
sekarang saya dan Siti ada hubungan saudara, meski jauuuuh. Titik.
Sebelum Maghrib, kami pamitan pada Bapak Ibu untuk
balik ke Jakarta. Kami mampir dulu ke RSS, ke rumah Pak Dadang dan Pak Suko.
Pada keduanya, kami mengutarakan niat kami untuk tinggal lagi di rumah kami.
Alhamdulillah, sambutannya baik. Pak Dadang mau membantu kami mengecat dan memperbaiki
bagian rumah yang rusak. Pak Suko yang sekarang bukan Pak RT lagi, tak sabar
menunggu suami kembali ngumpul di gardu RT. Kalo cuma ngumpul boleh, kalo main
kartu jangaaaan, Pak.
Usai sholat Maghrib di Masjid Agung Kendal dan makan
mie ayam di pojokan, kami balik ke Jakarta. Selamat tinggal, Kendal tercinta,
beberapa bulan lagi kami akan kembali ke sini. Seperti kata Pak Bibit Waluyo,
bali deso, mbangun deso *halah.