Jumat, 02 Agustus 2013

Satu Pohon Seribu Komentar

Saat menempati rumah dinas di kawasan Halim tahun 2009 silam, saya benar-benar surprise. Bayangkan, di sebelah rumah ada kelebihan tanah yang lumayan luas. Bisa dibuat satu rumah lagi, sepertinya. Tapi karena letaknya di tikungan, oleh yang berwenang dibiarkan kosong. Teman anak saya jadi sering main ke rumah untuk bersepeda di sana. Maklum halaman rumah mereka tak seluas halaman rumah kami.



Dan pepatah “Siapa menanam, akan menuai” sepertinya tidak pas dengan kondisi saya. Karena penghuni lama yang menanam aneka buah, saya yang memetik hasilnya, hehehe...Ada banyak tanaman di kebun samping rumah saya. Pepaya, pisang, rambutan, durian, kelapa, belimbing, dan sirkaya. Ada juga pandan dan jeruk purut yang daunnya bisa  membuat masakan jadi tambah harum.

Ah, ada satu pohon lagi yang belum saya sebutkan. Pohon inilah yang akan saya ceritakan di episode kali ini. Beberapa hari setelah menempati rumah, saya curhat pada kakak perempuan saya yang tinggal di Bekasi.
“Mbak, di rumahku ada pohon duwet loh.”
“Oh, ya. Wah, kapan-kapan aku mau ngajak muridmu main ke rumahmu ah.”
“Lha, emangnya kenapa?”
“Kemarin, ada seorang muridku yang bertanya tentang pohon itu. Aku jawab saja, nanti kalo ada Ibu tunjukkan pohon atau buahnya.”

Hehehe...pohon duwet memang termasuk tanaman langka di wilayah Jabodetabek. Bagi yang bukan orang Jawa, mungkin penasaran apa sih buah duwet itu. Duwet itu nama Latinnya: Syzygium cumini. Pohonnya tinggi, bisa mencapai 20 meter. Diameter batang pokoknya antara 10-30 cm. Buahnya berwarna hitam keunguan, rasanya sepat masam. Orang Betawi dan Sunda menyebutnya buah jamblang. Di daerah lain ada yang menyebutnya jambu keling, jambu juwad, atau jambulan. Nah, sekarang sudah tahu, kan, apa yang saya maksud dengan duwet?



 Ternyata oh ternyata, saat saya menceritakan tentang pohon duwet alias jamblang di rumah saya, banyak reaksi tak terduga dari orang-orang di sekitar saya. Ini dia komentar dari mereka yang sempat saya catat.
- Saat berkumpul dengan ibu-ibu istri rekan kerja suami, sebagai pendatang baru, saya memperkenalkan diri.
“Saya tinggal di tikungan jalan Hercules, yang halaman sampingnya luas itu. Ada pohon rambutan, pohon durian,...dan pohon jamblang.”
Seorang ibu berbisik pada saya, “Ada pohon jamblangnya? Nggak takut, Bu?”
“Emangnya kenapa?”
“Pohon jamblang biasanya ada penghuninya loh.”
- Saat kakak ipar saya yang tinggal di Semarang mampir ke rumah, dia juga berkomentar, “Itu pohon jamblang, ya? Hati-hati ya, biasanya ada penunggunya loh. Temanku pernah anaknya hilang pas waktu Maghrib. Eh, ketemunya di atas pohon jamblang.”
Waduh, sudah dua orang yang berkomentar horor. Saya jadi merinding juga. Padahal pohon itu letaknya persis di depan kamar tidur saya. Jadi setiap membuka jendela di pagi hari, pohon jamblanglah yang pertama kali saya lihat.

- Kakak lelaki saya yang tinggal di Pontianak, lain lagi komentarnya. Karena bekerja di Dinas Perkebunan, dia memenuhi halaman rumah dinasnya dengan beraneka tanaman. Saat tahu saya punya pohon jamblang, dia berkata, “Nah, ini dia yang aku belum punya. Besok aku mau minta biji atau pohon anakannya, mau aku tanam di Pontianak.”
- Sementara seorang kerabat dan seorang teman yang usianya di atas saya, saat tahu kalau saya punya pohon jamblang berkomentar, “Dik, kalau lagi berbuah, kirim ke rumah ya buahnya.” Hehehe...buah itu memang terasa enak bagi orang-orang seangkatan dengan saya atau di atasnya. Saat masih kanak-kanak, Ibu saya sering membeli buah jamblang di pasar. Sebelum dimakan, buah dicuci dan diberi garam dan gula pasir. Dikocok-kocok di mangkuk sebentar, lalu dimakan. Rasa sepatnya jadi berkurang. Sementara anak sekarang, karena begitu banyak mengenal buah-buahan manis, pasti mengatakan nggak enak alias sepat. Suami saya bahkan sampai harus memaksa ketiga anak saya untuk  mencicipinya, “Ini dicoba, rasanya enak loh, namanya anggur Jawa.” Hehehe...ada-ada saja nih si Bapak.

Sampai saat ini, pohon jamblang masih berdiri kokoh di samping rumah. Tukang rumput yang rajin memangkas ranting-rantingnya setiap bulan. Kalau dulu bisa dipetik langsung, sekarang harus memakai galah untuk mengambil buahnya. Ya, karena pohonnya semakin tinggi menjulang. Dibandingkan buah jamblang di rumah mertua, rasa buah jamblang di rumah saya lebih manis. Jadi saat berbuah, saya dan suami bisa makan buah jamblang setiap hari.

Alhamdulillah, saya juga belum pernah mengalami hal-hal aneh atau mistis seperti yang diceritakan orang tentang pohon jamblang. Menurut saya, Allah menciptakan sesuatu pasti ada manfaatnya, termasuk pohon jamblang. Beberapa penelitian menunjukkan, buah jamblang bisa menjadi obat tradisional. Bisa mengobati penyakit diare, diabetes, batuk rejan, sariawan, dan sebagai penawar racun.

Jadi intinya, apa pun komentar orang tentang pohon jamblang, saya akan tetap membiarkannya tumbuh di halaman. Selain membuat halaman jadi adem, bisa jadi sarana pembelajaran bagi anak-anak di sekitar rumah. Dalam buku PLBJ anak saya tertulis, salah satu tanaman langka di Jakarta adalah pohon jamblang. Jadi, bagi yang belum pernah melihat pohon atau buah jamblang, datang saja ke rumah saya, hehehe...

Ini dia penampakan si penunggu pohon jamblang plus sapu (nggak bisa) terbangnya. Bila pagi-pagi terdengar suara srek...srek...srek..., jangan takut. Itu berarti si penunggu sedang membersihkan daun-daun pohon jamblang yang berguguran.



 Tulisan ini diikutkan "Give Away Aku dan Pohon"-nya Mbak Arin Murtiyarini.


5 komentar:

  1. Mau nambahin komentar aah biar jadi 1001 hehe.. jamblang itu rasanya sepet. Ngga suka. Tapi bener sih itu langka ;) dideket kantor ku ada pohon itu. Dan baik2 saja ngga ada kisah penunggunya kook. Kunjung balik ya mak ke nurulnoe.com :)

    BalasHapus
  2. salam kenal mbak :D foto buahnya mirip anggur hehe. saya suka dengar tp belum pernah liat tanaman apalagi buahnya. enak tuh halaman rumah seluas itu (tau dari banyaknya pohon buah di sana) waaah bisa tinggal petik2 aja ga keluar duit buat beli

    BalasHapus
  3. makasih udah mampir ke blog saya. mirip gohok tapi jamblang rasanya agak sepat, gohok kan ada manisnya.

    BalasHapus
  4. boleh tidak saya minta cangkokannya?kan juwet uda langkah bu

    BalasHapus