Ada dua hal yang
membuat kawasan pegunungan Dieng jadi trending topic di akhir bulan Agustus
2014 lalu. Yang pertama yaitu munculnya fenomena alam yang oleh masyarakat
lokal disebut bun upas ( artinya embun racun). Bun upas itu biasanya muncul di
musim kemarau. Suhu yang rendah di malam hari (bahkan) mencapai di bawah 0
derajat Celcius, meninggalkan sisa berupa embun kristal di pagi hari. Kehadiran
embun ini tidak disukai para petani kentang, karena merusak sebagian besar
tanaman mereka.
penampakan bun upas |
Meski kehadiran bun
upas dibenci para petani, banyak wisatawan tertarik melihat langsung fenomena
alam yang langka ini. Mereka rela menginap, demi melihat kilauan ‘salju’ yang
menempel di tanaman, yang berada di ketinggian di atas 2.000 meter itu. Bun
upas akan menghilang seiring munculnya matahari. Asal tahu saja, fenomena ini
biasanya hanya berlangsung selama 3 hari di bulan Juli atau Agustus.
Yang kedua, dengan
diadakannya Dieng Culture Festival 2014 tanggal 30 dan 31 Agustus lalu. Acara
seni dan budaya yang sudah rutin digelar sejak tahun 2010 kali ini lebih
istimewa. Lihat saja daftar acaranya, ada kirab budaya, prosesi pemotongan
rambut anak gimbal, pesta lampion dan kembang api, juga pagelaran music jazz
bertajuk Simfoni Negeri di Atas Awan.
Adanya promosi dari
berbagai media, membuat banyak pengunjung datang ke Dieng untuk menikmati acara
itu. Sayang, saya termasuk orang yang tidak berkesempatan hadir di hari itu.
Padahal saya pengin banget ke sana, menerbangkan lampion bersama-sama.
Membayangkan langit malam itu pasti tampak indah bertaburan cahaya lampion.
Ketika saya mengunjungi
Dieng awal September, ternyata pengunjungnya lumayan padat juga. Apa karena
melihat liputan acara Dieng Culture Festival di berbagai media ya, jadi
penasaran. Entah lah. Mulai dari pintu masuk area Dieng yang pertama,
iring-iringan mobil seakan tak ada putusnya.
pintu masuk pertama |
Dari pintu masuk
pertama ke lokasi wisata Dieng ternyata memakan waktu lumayan lama, sekitar 20
menit. Kita harus melewati beberapa tikungan dan tanjakan tajam. Tapi mata kita
akan terhibur dengan pemandangan di kanan kiri jalan. Perkebunan sayuran tampak
rapi sedang dikerjakan para petani. Kita bisa melihat tanaman kentang, wortel,
juga pohon carica, tanaman khas Dieng.
Ada beberapa lokasi
wisata di kawasan Dieng. Untuk mencapai satu lokasi ke lokasi lainnya, cukup
jauh. jadi harus naik mobil. Sepertinya tidak ada angkutan khusus di sekitar
lokasi. Biasanya para pengunjung datang berombongan, menyewa sebuah mobil elp.
Kalau datang sendiri atau berdua, ya mending naik motor aja.
Lokasi pertama yang
saya datangi adalah kawasan candi. Dari
pintu masuk, kita akan bertemu dengan Candi Arjuna. Suasana yang ramai dan panas
yang terik membuat saya malas mengunjungi candi lainnya (seperti candi
Gatutkaca, Bima, Srikandi, Semar). Saya memilih mengisi perut yang mulai
keroncongan. Pilihannya tentu saja makanan yang khas di daerah itu. Dan saya
memilih mie ongklok, mie yang dicelup ke air panas bersama dengan kubis, lalu
disiram kuah kental. Tambahan satenya yang masih panas pula, bikin makan siang
saya terasa nikmat. Hmm…yummy!
mie ongklok yang yummy |
Destinasi selanjutnya
adalah Telaga Warna. Di sekitar Telaga Warna banyak sekali tempat wisata yang
bisa kita pilih, ada Telaga Pengilon, ada aneka gua yang letaknya di atas bukit
kecil ( gua Semar, gua Jaran, gua Sumur, dan lainnya). Di gua Semar, saya malah
sempat bertemu dengan juru kuncinya yang postur tubuhnya agak tambun, pake baju
beskap hitam, celana hitam, dan lilitan kain batik di pinggangnya. Hehehe…mirip
ikon Semar banget, boo.
Puas melihat telaga
dan gua, saya dan rombongan pindah ke kawasan kawah. Ada banyak kawah di lokasi
itu, di antaranya kawah Sikidang, Sileri,
Siglagah, Candradimuka, Timbang. Di pintu masuk banyak pedagang asongan
menawarkan masker. Ya, masker sekali pakai yang biasa dijual seribuan di
pinggir jalanan Jakarta. Di sana dengan membayar 5.000 rupiah kita akan dapat 3
masker.
Bau belerang terasa
menyengat begitu mendekati lokasi. Saya memilih duduk menunggu beberapa teman
yang mendekati kawah. Ternyata, banyak yang balik kanan, “Nggak kuat, mual.”
Kata seorang pedagang asongan, awalnya memang baunya bikin mual, tapi semakin
mendekati kawah, nggak akan terasa lagi. Entahlah…yang pasti saya nggak kuat
dengan terik matahari yang sangat menyengat siang itu.
Jalan-jalan tanpa
membeli oleh-oleh tentu kurang afdol. Sebelum pulang, kami pun mengunjungi
pasar sentra sayuran di tengah kota Wonosobo. Semua sayuran di sini dijual grosir,
nggak ada yang eceran. Kentang ya harus 1 karung ( kira-kira 17 kg), buncis ya
harus 1 karung kecil ( 5 kg). Akhirnya 1 karung kentang dan buncis pun masuk ke
bus kami.
Terakhir, mampir di
toko oleh-oleh yang menjual makanan kering,seperti keripik jamur, keripik paru, dan cemilan lainnya. Saya pilih carica, manisan pepaya
hutan yang maknyus itu, yang kemasan mangkuk plastik. Geli kalau ingat pengalaman nggak bisa buka carica kemasan botol selai dulu, hehehe...
carica, masih mentah dan manisan |
Bus pun melaju kembali ke kota Kendal tercinta. Sst…jangan ketawa ya,
saya satu-satunya peserta rombongan yang mabuk * tutup muka. Perjalanan berliku
melewati puluhan tikungan dan tanjakan kali ini membuat saya puas. Ya, akhirnya saya bisa sampai ke kawasan Dieng juga, setelah rencana libur Lebaran kemarin batal.
Nggak bisa melihat bun upas nggak papa, minimal sudah menikmati mie
ongklok langsung di kota asalnya.
Catatan: Selain foto mie ongklok, semua gambar saya ambil dari Google. Maklum, foto di HP dihapus semua demi bisa pasang Whatsapp, hiks...
carica seperti belimbing bentuknya ..hahaha
BalasHapuscarica itu saudaranya pepaya. bentuk pohon, daun, dan buah mirip banget. cuma rasa buahnya asem. makanya dibikin manisan...
BalasHapus