Setelah 10 jam
lebih duduk di pesawat (sudah plus isi bahan bakar di Aceh), akhirnya tibalah saya dan rombongan di Bandara King Abdul
Aziz, Jeddah. Saat itu adzan maghrib baru berkumandang. Begitu turun dari
pesawat dan merasakan aura tanah haram, masih ragu antara percaya dan
tidak...saya sudah sampai di Arab Saudi. Masya Allah...
Dari bandara, kami
harus menempuh perjalanan lagi sekitar 5 jam dengan bus menuju Madinah. Di atas
bus itulah kami berkenalan dengan muthowif kami, Mas Wildan, asal Lombok yang
sudah tinggal di Arab sejak lulus SMA, sudah 10 tahun lebih pokoknya. Beliaulah
nanti yang akan memandu perjalanan umroh ini, bersama TL kami, Mas Tri.
Setelah menikmati
makan malam berupa nasi dan ayam bakar, kami singgah di masjid untuk sholat
Maghrib dan Isya’. Perjalanan dilanjut hingga akhirnya tengah malam kami tiba
di hotel tempat kami menginap. Namanya Hotel Concorde Dar Al Khair, letaknya
hanya selemparan batu dengan pintu 15 Masjid Nabawi. Oh ya, saya menempati kamar
berempat dengan 2 ibu-ibu dari Kendal, plus satu dari Jogja.
Esoknya kami
bergantian mandi untuk segera melaksanakan sholat Subuh pertama di Masjid
Nabawi. Puji syukur tak henti-henti saya ucapkan atas kemurahan-Nya membawa saya
ke salah satu tempat yang diupayakan untuk dikunjungi muslim paling tidak
sekali seumur hidupnya. Masya Allah, betapa nikmatnya sholat Subuh kali ini.
Sesuai jadwal, kami
berada di Madinah selama 2 hari, yaitu Jumat dan Sabtu. Acara kami lebih ke ziarah,
menelusuri jejak Nabi dan para shahabiyah, belum ke acara inti umroh. Detailnya
nanti saya tulis tersendiri soal kami jalan-jalan ke mana saja.
Saya cuma ingin
menceritakan sedikit tentang tempat penginapan kami. Benar apa yang sudah
dipaparkan pihak travel tempo hari, bahwa pelayanan hotel di sini nggak ada
ramah-ramahnya. Jauuuh banget dengan di Indonesia. Menurut Mas Wildan etos
kerja orang Arab emang beda banget dengan bangsa lain. Negara mereka kaya
dengan tambang minyaknya, hingga banyak yang ogah-ogahan kerjanya, karena
hidupnya sudah dijamin negara.
Mereka dibayar lebih
kalo mau kerja jadi pegawai, tentara,
atau polisi. Sudah bukan rahasia, gaji orang asing nggak boleh lebih dari gaji
orang lokal. Padahal kemampuan mereka biasa-biasa saja. Kata Mas Wildan, liat
aja petugas di bandara, mau ngetik aja masih nyari-nyari huruf di keyboard,
hahaha...
Trus soal makan, kami
makan seperti di tanah air, 3 kali sehari dengan menu ala Melayu. Karena memang
tempat makan kami khusus untuk orang Indonesia dan Malaysia. Sementara untuk
bule tempat makannya beda lantai. Tiap kali makan yang pasti ada itu sambal,
irisan mentimun, dan buah. Sementara minuman air putih, jus jeruk instan, kopi,
teh, dan krimer. Tinggal pilih sesuai selera.
abaikan foto yg bawah, hihihi... |
Oh ya, teman sekamar saya,
Ibu dari Kendal satu-satunya anggota rombongan yang pake kursi roda karena
beliau stroke. Tubuh bagian kanan nggak bisa digerakkan, sehingga kalo makan
harus pake tangan kiri. Ibu dari Kendal satunya adalah besannya. Dialah yang
selalu membantu kebutuhan beliau seperti ganti baju, makein kaos kaki, nyuci
baju, sampai mengambilkan makanan.
Dan sudah diingatkan
dari awal oleh pihak biro travel, bahwa kita satu tim, harus kompak. Harus
saling bantu dan mengingatkan sesuai jadwal yang sudah ditetapkan.
Alhamdulillah, kita saling gantian dorong kursi roda si Ibu kalo lagi jalan.
Nggak harus putranya, Mas Bambang, atau besannya. Ada cerita seru yang nggak
bakal saya lupakan saat harus dorong kursi roda Ibu di Raudhah. Tunggu cerita
lengkapnya ya...
Yang pasti saya takjub
dengan keindahan Masjid Nabawi, apalagi di hari terakhir bisa menyaksikan
payung itu terbuka usai sholat Subuh dan tertutup usai sholat Maghrib. Masya
Allah, itu bikin kangen pengin ke sana lagi dan lagi.
#ceritaumrohku
Tidak ada komentar:
Posting Komentar