Senin, 07 Mei 2018

# umroh

Madinah, I’m Coming


Setelah 10 jam lebih duduk di pesawat (sudah plus isi bahan bakar di Aceh), akhirnya tibalah saya dan rombongan di Bandara King Abdul Aziz, Jeddah. Saat itu adzan maghrib baru berkumandang. Begitu turun dari pesawat dan merasakan aura tanah haram, masih ragu antara percaya dan tidak...saya sudah sampai di Arab Saudi. Masya Allah...


Dari bandara, kami harus menempuh perjalanan lagi sekitar 5 jam dengan bus menuju Madinah. Di atas bus itulah kami berkenalan dengan muthowif kami, Mas Wildan, asal Lombok yang sudah tinggal di Arab sejak lulus SMA, sudah 10 tahun lebih pokoknya. Beliaulah nanti yang akan memandu perjalanan umroh ini, bersama TL kami, Mas Tri.

Setelah menikmati makan malam berupa nasi dan ayam bakar, kami singgah di masjid untuk sholat Maghrib dan Isya’. Perjalanan dilanjut hingga akhirnya tengah malam kami tiba di hotel tempat kami menginap. Namanya Hotel Concorde Dar Al Khair, letaknya hanya selemparan batu dengan pintu 15 Masjid Nabawi. Oh ya, saya menempati kamar berempat dengan 2 ibu-ibu dari Kendal, plus satu dari Jogja.


Esoknya kami bergantian mandi untuk segera melaksanakan sholat Subuh pertama di Masjid Nabawi. Puji syukur tak henti-henti saya ucapkan atas kemurahan-Nya membawa saya ke salah satu tempat yang diupayakan untuk dikunjungi muslim paling tidak sekali seumur hidupnya. Masya Allah, betapa nikmatnya sholat Subuh kali ini.

Sesuai jadwal, kami berada di Madinah selama 2 hari, yaitu Jumat dan Sabtu. Acara kami lebih ke ziarah, menelusuri jejak Nabi dan para shahabiyah, belum ke acara inti umroh. Detailnya nanti saya tulis tersendiri soal kami jalan-jalan ke mana saja.

Saya cuma ingin menceritakan sedikit tentang tempat penginapan kami. Benar apa yang sudah dipaparkan pihak travel tempo hari, bahwa pelayanan hotel di sini nggak ada ramah-ramahnya. Jauuuh banget dengan di Indonesia. Menurut Mas Wildan etos kerja orang Arab emang beda banget dengan bangsa lain. Negara mereka kaya dengan tambang minyaknya, hingga banyak yang ogah-ogahan kerjanya, karena hidupnya sudah dijamin negara.

Mereka dibayar lebih kalo mau kerja  jadi pegawai, tentara, atau polisi. Sudah bukan rahasia, gaji orang asing nggak boleh lebih dari gaji orang lokal. Padahal kemampuan mereka biasa-biasa saja. Kata Mas Wildan, liat aja petugas di bandara, mau ngetik aja masih nyari-nyari huruf di keyboard, hahaha...

Trus soal makan, kami makan seperti di tanah air, 3 kali sehari dengan menu ala Melayu. Karena memang tempat makan kami khusus untuk orang Indonesia dan Malaysia. Sementara untuk bule tempat makannya beda lantai. Tiap kali makan yang pasti ada itu sambal, irisan mentimun, dan buah. Sementara minuman air putih, jus jeruk instan, kopi, teh, dan krimer. Tinggal pilih sesuai selera.

abaikan foto yg bawah, hihihi...

Oh ya, teman sekamar saya, Ibu dari Kendal satu-satunya anggota rombongan yang pake kursi roda karena beliau stroke. Tubuh bagian kanan nggak bisa digerakkan, sehingga kalo makan harus pake tangan kiri. Ibu dari Kendal satunya adalah besannya. Dialah yang selalu membantu kebutuhan beliau seperti ganti baju, makein kaos kaki, nyuci baju, sampai mengambilkan makanan.

Dan sudah diingatkan dari awal oleh pihak biro travel, bahwa kita satu tim, harus kompak. Harus saling bantu dan mengingatkan sesuai jadwal yang sudah ditetapkan. Alhamdulillah, kita saling gantian dorong kursi roda si Ibu kalo lagi jalan. Nggak harus putranya, Mas Bambang, atau besannya. Ada cerita seru yang nggak bakal saya lupakan saat harus dorong kursi roda Ibu di Raudhah. Tunggu cerita lengkapnya ya...


Yang pasti saya takjub dengan keindahan Masjid Nabawi, apalagi di hari terakhir bisa menyaksikan payung itu terbuka usai sholat Subuh dan tertutup usai sholat Maghrib. Masya Allah, itu bikin kangen pengin ke sana lagi dan lagi.

#ceritaumrohku


Tidak ada komentar:

Posting Komentar