Senin, 17 Februari 2014

# ceritaku

Mendung Kelabu di Kompleks Kami

Sejak pagi saya membantu tetangga sebelah membungkus nasi untuk korban banjir yang melanda kota kami. Sudah dua hari rumah sebelah jadi posko bantuan (nasi bungkus), dan saya membantu sejak sore sebelumnya. Usai adzan Dzuhur, saya pamit pulang pada tuan rumah. Tangan kiri kanan saya penuh tentengan, semangkuk soto dan beberapa potong kue basah. Yeay…makasih, Bu Mun.

Sampai di rumah, buka HP, ada pesan dari Bu Ida, wali kelas Nabil : anak-anak pulang jam 11. Wew..ini kan sudah jam 12.15, ke mana si ganteng? Motor nggak ada di tempat; dibawa si Mas banjir-banjiran. Lengkap sudah kegelisahan saya. Segera saya sms Bu Ida: Bu, anak saya kok belum pulang? Hiks…

Tepat jam 12.30, si ganteng muncul di depan pintu dengan mulut mewek, “Ummi, kenapa nggak jemput aku?” Saya peluk dia, cup…cup…maaf ya, Ummi tadi lagi sibuk. Nggak bawa HP, lagi. Saya tawari dia makan soto, setelah ganti baju. Usai sholah Dzuhur, saya tidur-tiduran sambil buka-buka HP. Lama-lama ngantuk juga, jadi males balik lagi ke rumah sebelah.

Tiba-tiba, di antara mata yang tinggal 5 watt, terdengar berita lelayu dari masjid. Innalillahi wainnailaihi roji’un….telah berpulang ke rahmatullah ananda Ahmad (10 tahun), putra dr. Bayu Laksana. Saya langsung loncat dari kasur. Ya, Robb, dari tadi pagi saya bungkusin nasi sama ibu-ibu, termasuk Bu Nurjanah, Ummi-nya Ahmad. Tadi sambil bekerja, beliau bercerita tentang tingkah ke-8 putra-putrinya, termasuk tentang Ahmad. Lha kok sekarang sudah nggak ada.

Segera saya cari info ke tetangga sebelah. Katanya, tadi sekitar jam 14.30 Bu Nur buru-buru pulang begitu dikabari Ahmad tercebur kolam di RTH (ruang terbuka hijau) di komplek perumahan kami. Pulang sekolah, dia dan temannya main di sekitar kolam. Entah, mungkin dia terpeleset atau gimana, hingga tercebur ke kolam. Sempat dibawa ke rumah sakit, tapi nggak tertolong. Ya, Allah, lemes saya mendengarnya.

Usai mandi dan sholat Ashar, saya dan Nabila menuju ke rumah duka. Di sana sudah berkumpul banyak orang, baik tetangga maupun dari Yayasan Robbani, termasuk Kepala Sekolah dan Guru SD Nabila dulu. Saya biarkan Nabila bernostalgia dengan beberapa guru dan adik kelasnya. Sementara, saya berusaha menemui Bu Nur yang tampak berduka namun tegar.


Kemarin, sehari sebelumnya, tetangga saya juga baru saja kehilangan putrinya. Umur 20 tahun, sakit tumor di sekitar hidung dan tenggorokan. Awan kelabu yang terus menggelayut akhir-akhir ini, ternyata juga membawa awan duka di komplek kami. Hujan air mata mengiringi kepergian anak dari sahabat-sahabat saya. Sesungguhnya setiap yang bernyawa pasti akan mati. Kelak, kita semua juga akan mengalami proses kematian. Entah kapan.


3 komentar:

  1. umur benar2 rahasia Allah SWT ya Mbak

    BalasHapus
  2. Innalillahi wa inna ilaihi roji'un...

    BalasHapus
  3. makasih sudah mampir baca tulisan saya. sedih kalo ingat waktu itu...banjir besar melanda kota kami. sampai2 penguburan jenazah ditunda gara2 makam kebanjiran

    BalasHapus