Usai sholat Maghrib dan makan malam, kami jamaah umroh perempuan berkumpul di lobi hotel. Sesuai jadwal, malam ini kami akan ke Raudhah didampingi muthowifah yang saya nggak sempat mengingat namanya. Yang pasti dia orang Sunda, terlihat banget dari logatnya. Sejak awal dia terlihat kurang ramah, soalnya ngomel sendiri karena ibu-ibu belum kumpul semua.
Akhirnya, kami berangkat juga begitu ibu yang paling sepuh muncul. Dengan berpakaian serba hitam, kami serombongan berjalan setengah berlari, mengikuti Teteh muthowifah. Kami masuk melalui pintu 25 dan langsung cari posisi karena sholat Isya’ akan segera dimulai.
Begitu sholat selesai, si Teteh langsung kasih instruksi kami untuk bergegas antri di tempat menuju Raudhah. Saya yang mendorong Ibuk sampai salah jalan saking paniknya. Dan...si Teteh langsung ngomel panjang. Sabar...sabar...Begitu tahu kalo yang mau mendorong kursi roda Ibuk adalah Mak Pik, si Teteh bilang sambil menunjuk saya,”Jangan...yang ndorong Mbak aja yang lebih muda.” Hmmm, saya? Baiklah, mungkin ini emang yang terbaik untuk saya.
Jalur untuk yang naik kursi roda terpisah. Saya harus ngantri bareng rombongan lain yang nggak saya kenal sama sekali, bahkan dari berbagai negara yang beda bahasanya. Perjuangan ini luar biasa...semua berdesak-desakan ingin cepat sampai tujuan. Kaki belakang saya entah berapa puluh kali tertabrak kursi roda di belakang. Duh, perih. Saya juga beberapa kali (tak sengaja) menabrak kaki orang di depan saya. Dengan bahasa tubuh, saya paham mereka berkata, “ Hei, woles, jangan tabrak gue dong!”
Melihat antrian yang seperti ular naga panjangnya, saya hanya bisa berbisik pada Ibuk, “Sabar nggih Buk, kita sudah terlanjur di tengah antrian panjang ini.” Untuk balik jelas nggak mungkin, ini kan kesempatan langka. Akhirnya, setelah sekitar 5 jam ngantri, sampai juga saya dan Ibuk di Raudhah. Masya Allah, inilah salah satu tempat yang katanya makbul untuk berdoa.
Tempat untuk yang naik kursi roda hanya sedikit. Yang mengantar disuruh nunggu tak jauh dari barisan kursi roda. Saking sempitnya ruangan yang dibatasi tirai-tirai itu, saya nggak dapat tempat sholat. Akhirnya hanya bisa pasrah, berdiri sambil merapal doa, “ Ya, Robb, hamba datang untuk memohon ampunan dari-Mu. Tunjukkan hal-hal terbaik menurut-Mu ya Allah. Apa pun itu, hamba ridho menerimanya.”
Ada sekitar setengah jam kami berada di Raudhah, sebelum akhirnya kembali balik ke pintu 25. Sungguh perjuangan yang luar biasa. Tengah malam saja antrian kursi roda masih panjaaaang. Mungkin Subuh baru kelar antrian itu. Begitu keluar dari pintu 25, beberapa orang meneriaki kami berdua. Ternyata ada Mas Tri ( tour leader), muthowif, muthowifah, dan Mas Bambang. Wajah mereka tampak cemas.
Kembali si Teteh nerocos, “ Ini gimana sih, yang lain dah balik ke hotel jam 10. Harusnya selisihnya 2 jam aja. Saya sampai harus balik ke sini lagi karena dikabari ada 3 orang yang belum balik.” Hah, 3 orang? Eh, ternyata Mak Pik belum balik hotel. Saya dan Ibuk langsung ke kamar, sementara yang lain nyari Mak Pik di halaman masjid Nabawi. Karena ketika saya nggak nemui beliau saat pulang tadi.
Akhirnya jam 2 dini hari, Mak Pik ditemukan, alhamdulillah. Beliau bingung dengan suasana masjid di malam hari. Padahal sudah sampai di pintu 15, eh...malah muter-muter sampai kuburan Baqi’. Ya, Allah, Mak Pik.
Apa pun yang terjadi malam itu saya ridho dan ikhlas. Saya maafkan si Teteh yang ngomelin saya, mungkin sudah terkontaminasi budaya Arab, hingga lupa budaya ramah tamah, hihihi...Semoga suatu saat saya diberi kesempatan ke Raudhah melewati jalur biasa, bukan jalur kursi roda. Kata teman-teman, suasana malam itu crowded. Untuk bisa sholat aja, si Teteh harus menghalangi orang lain. Tapi minimal antriannya tidak seperti yang di jalur kursi roda.
Ya, Allah, sampai detik ini hamba masih punya keinginan sholat di atas karpet hijau tuanya Raudhah. Memohon ampunan dosa dan meminta agar diwafatkan dalam keadaan husnul khotimah. Semoga dimudahkan...aamiin...
#ceritaumrohku