Hari itu, saya
dikejutkan suara telepon. Dari kakak perempuan saya yang tinggal di Semarang!
Katanya, “Tolong kamu cek, aku dapat kabar kalo tetangga kita dulu, Pak M, meninggal.
Katanya bla…bla…bla…”
Tanpa menunggu waktu,
saya meluncur ke kampung tempat tinggal saya dulu. Nggak jauh sih dari rumah
saya sekarang. Lho kok sepi. Nggak ada tenda, kursi, atau bendera kuning
seperti layaknya rumah orang meninggal dunia. Hanya ada police line di bagian
pintu belakang * tanda tanya.
Saya balik badan dan
segera saya buka FB. Ternyata beritanya sudah masuk beritakendal.com. Judulnya:
Tinggal Sendirian, Ditemukan Tewas Membusuk. Innalillahi wainnailaihi rojiun.
Ternyata benar, itu Pak M, tetangga persis sebelah rumah saya dulu. Menurut
berita itu, sejak hari Senin, Pak M yang berumur 60 tahun, mengeluh nggak enak
badan sama tetangganya. Hari Rabu pagi, seorang ART yang mau belanja kebutuhan
sehari-hari (oh ya beliau punya warung kecil di rumah) mencoba
memanggil-manggil. Tapi, penghuni rumah tak jua muncul. Dia curiga karena
mencium bau tak sedap. Segera ART itu meminta tolong tetangga untuk mengecek.
Karena kesulitan, mereka pun lapor polisi.
Maka polisi pun datang
untuk mendobrak rumah Pak M. Dan ternyata Pak M ditemukan di kamarnya sudah tak
bernyawa. Televisi di kamar itu juga masih menyala. Jenasah segera dibawa ke
RSUD Kendal untuk didiperiksa. Setelah terbukti tak ada tanda-tanda
penganiayaan, jenasah dikuburkan sore harinya.
Sekedar info, istri
Pak M belum 100 hari meninggal. Anak perempuannya ikut suaminya tinggal di
Cilacap. Jadi, sejak istrinya meninggal, Pak M tinggal sendirian di rumah.
Ketika saya datang takziah esok harinya, saya kok merasa si anak ini santai
saja. Dalam arti ketika dimintai pendapat kerabatnya, malah mengatakan,
“Terserah, saya manut saja. Saya repot. Minta pendapat saja sama kakak Bapak
saja.” Mudah-mudahan penilaian saya salah. Bisa saja dia kecapekan karena
perjalanan yang jauh dengan membawa 3 anak yang masih kecil-kecil.
Saya jadi ingat Ibu.
Setelah Bapak meninggal, Ibu tinggal di rumah sendirian. Ibu kekeuh nggak mau
ikut salah satu dari ke-6 anaknya. “Ibu mau di sini saja, nanti kalo Bapakmu
pulang, gimana?” Kami mengalah, tak bisa memaksa Ibu. Kami pun patungan
membayar orang yang mau nemani Ibu. Kejadian paling dramatis adalah ketika Ibu
sendirian karena pembantu berhenti bekerja, kondisi Ibu pas drop. Kakak ipar menemukan
Ibu dalam keadaan tidak sadar dengan badan belepotan * maaf Ibu mengalami
pendarahan lambung.
Sebagai satu-satunya
anak yang tinggal sekota, saya shock dan merasa bersalah. Sepulang dari rumah
sakit Ibu langsung saya boyong ke rumah. Sejak itu kondisi Ibu benar-benar
turun drastis, tak pernah sekali pun turun dari tempat tidur. Meski tinggal
serumah, saya tak bisa merawat Ibu dengan tangan saya. Ada orang yang khusus
merawat Ibu. Saat itu selain masih kerja kantoran, saya baru punya bayi. Tapi
paling tidak saya merasa tenang, bisa melihat dan berbincang dengan Ibu setiap hari. Saat beliau
tiba-tiba mengalami koma, saya sempat membacakan surat Yaasin di telinganya.
Ya, Allah semoga saat
saya tua nanti, anak-anak mau merawat saya. Saya tidak ingin mengalami kejadian
tragis seperti tetangga saya itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar