Jumat, 24 Mei 2013

# Sillaturrahim

Yang Tersisa dari Acara 40 Tahun Pipiet Senja Berkarya

Siapa sih yang nggak kenal Pipiet Senja? Penulis senior yang telah menghasilkan 100-an buku, aktivis FLP, sahabat para BMI di beberapa negara, dan satu lagi: penderita thalasemia. Tanggal 16 Mei 2013 lalu, Teh Pipiet genap berusia 57 tahun. Subhanalllah, hanya atas kuasa Allah seorang penderita berbagai penyakit masih survive, masih bisa merayakan milad ke 57 bersama keluarga dan teman-teman tercinta. Ternyata tahun ini juga Teh Pipiet sudah 40 tahun malang melintang di dunia kepenulisan.

Dalam rangka milad dan 40 tahun berkarya itulah digelar acara bertajuk “ 40 tahun Pipiet Senja Berkarya” di dua tempat. Yang hari Sabtu, 18 Mei berlangsung di PDS HB Jassin, TIM, sedang tanggal 19 Mei di Rumah Dunia, Serang, Banten. Karena saya hadir di PDS HB Jassin, maka tentu yang saya  tuliskan di bawah ini kegiatan yang berlangsung di PDS HB Jassin.



Saya dan sahabat saya, Mbak Nuke, tiba di TKP jam 11.40. Undangan di FB Teteh sih jam 11, tapi yang datang baru sekitar sepuluh orang. Sambil menunggu tamu lain, kami berdua melihat buku-buku yang dijual di meja resepsionis. Mbak Nuke membeli beberapa buku untuk dibaca sendiri dan untuk anaknya. Ya, selain novel, Teh Pipiet juga membuat picture book anak serial nama cucunya. Tak lama kemudian adzan Dzuhur terdengar. Teteh yang hari itu berpakaian warna favoritnya, serba ungu, mempersilakan tamu yang ada untuk sholat dulu.

Usai sholat, barulah acara dimulai. Acara dipandu duo MC kocak, Evatya Luna dan Hasan Al Bana. Sengaja dipilih MC yang konyol, karena format acaranya nggak resmi, cuma ngobrol santai tentang sepak terjang Teh Pipiet di dunia kepenulisan. Tapi begitu ditayangkan profil Teh Pipiet di layar, suasana haru mulai menyeruak ke seluruh ruangan. Apalagi sountrack yang dipilih pas banget “Muhasabah Cinta” milik Edcoustic. Usai penayangan profil, Teh Pipiet diminta maju untuk menerima kalungan bunga dan buket dari Butet, putri tercinta. Air mata Teh Pipiet pun jatuh juga.



Dalam sambutannya Teh Pipiet berkata, “Tuh kan saya nangis. Padahal hari ini penginnya kita kumpul, ngobrol santai aja.” Oke, deh, Teteh. Acara dilanjut dengan doa oleh Ustadz Bobby Herwibowo dan testimoni para tamu tentang sosok Teh Pipiet di mata mereka. Mau tau siapa aja yang kasih testimoni? Wow...banyak. Anak, menantu, penulis senior, sahabat, sampai mantan BMI yang jadi penulis. Komen mereka pun beragam ada yang mengharu biru, tapi lebih banyak yang menceritakan kekonyolan Teh Pipiet.

Yang memberi testimoni pertama adalah penulis senior K Usman yang dipanggil Teh Pipiet sebagai Ayah. Selanjutnya ada Ustadz Bobby Herwibowo, Linda Djalil, Dian Kelana, Fanny Jonathans Poyk, Darmadi, dan anak menantu Teh Pipiet. Ada juga Ibu Amalia dari Zikrul Hakim, Ida Rayhan, mantan BMI, dan Astry Anjani, penulis puisi. Tuh banyak banget, kan?

Saking banyaknya, nggak mungkin saya tuliskan semua testimoni itu. Ini hanya sebagian saja ya...

Linda Djalil (wartawati Tempo, penulis, kakak tiri Adjie Massaid), di sela memberi testimoni menyanyi lagu khusus yang diciptakan sendiri untuk Teh Pipiet

Dian Kelana (wartawan, penulis, dan fotografer), membacakan puisi yang ditulis khusus untuk Pipiet Senja yang sudah dianggap seperti adiknya sendiri

Wati El Abdurrahman (dari VOI RRI), menyerahkan bingkisan sebagai tanda cinta kepada Teteh yang sukses menggelar acara Bilik Sastra, program siaran langsung RRI dari luar negeri. Siaran ini menampung karya sastra WNI (kebanyakan BMI) yang tinggal di luar negeri

Fanny Jonathans Poyk (penulis, putri sastrawan Gerson Poyk): meski kami berdua banyak perbedaan, tapi saya senang bersahabat dengan Pipiet Senja. Kami pernah jalan-jalan berdua keliling pelosok Indonesia dan saya merindukan saat-saat seperti itu

Ustadz Bobby Herwibowo : dulu ketika masih aktif di FLP saya pengin banget ketemu Teteh. Alhamdulillah kami dipertemukan di sebuah acara pengajian. Dan sejak itu, kami jadi dekat dan Teteh sering curhat pada saya. Suatu saat saya menderita migren berat dan harus berobat ke rumah sakit. Sambil menunggu antrian sang profesor, saya pasang status di FB intinya mohon doa dari teman-teman. Semua teman komen yang isinya semoga cepat sembuh atau meminta saya untuk bersabar. Sementara komen Teh Pipiet: selamat menikmati sakitnya, Ustadz. (Hahaha...dasar si Teteh)

Butet alias Adzimattinur Siregar : Mama sejak dulu mengajarkan saya untuk menjadi perempuan tangguh. Jangan selalu tergantung pada laki-laki. Saya pernah heran kenapa Mama nggak mau pisah sama Papa, padahal sudah disakiti lahir batin. Kata Mama, “Supaya kamu bisa sekolah. Gaji Papa buat bayar sekolah kamu sama Abang. Sementara hasil nulis buat makan kita semua.” (Butet banyak bercerita tentang perjuangan sang Mama demi kelangsungan hidup keluarganya. Hampir semua terharu mendengar cerita Butet. Misalnya setelah kakinya ditendang sang suami sampai patah, Teh Pipiet terseok-seok jalan ke Redaksi Femina untuk pinjam uang. Ya, pinjam uang dan berjanji akan mengirim tulisan setelah itu. Ya, Allah, kebayang nggak sih...)

Haekal Siregar : sejak dulu saya sebagai anak laki-laki pertama, ingin selalu melindungi Mama. Bahkan saya sampai belajar ilmu bela diri. Pernah, suatu saat pulang sekolah, saya diberitahu kalau Mama berada di klinik karena habis dianiaya Papa. Langsung saya tendang pintu kamar sampai roboh. Trus waktu saya keterima di UI, Mama sangat bahagia, sampai-sampai setiap ketemu orang selalu Mama bilang, " Anakku keterima di UI, loh." Hampir orang sekampung tahu berita bahagia itu. (Banyak sekali cerita Haekal yang membuat hadirin ingin menangis, tapi karena cara membawakan ceritanya sambil cengengesan, ya semua ikut senyum-senyum, termasuk Teteh."Bagi kami kesedihan dan kesusahan sudah jadi makanan sehari-hari." Buah dari kesabaran mereka bertiga sudah bisa dipetik sekarang. Kehidupan Butet dan Haekal sudah mapan, Teh Pipiet juga sudah bahagia setelah resmi bercerai dengan suaminya)

Ida Rayhan (mantan BMI, penulis buku Cintaku di Negeri Jacky Chan): bagi saya Bunda itu seperti bidadari bumi yang dikirimkan Allah tepat waktunya. Saat saya sedang berada di kubangan ombak yang dahsyat, Bunda datang mengulurkan tangannya. Saya mencintamu, Bunda, karena Allah

Astry Anjani (penulis buku kumpulan puisi Perempuan Pemintal Hujan), membacakan puisi yang ditulis Teteh sesaat setelah konsultasi dengan dokter kardiologi. Puisi itu ada di buku Dalam Semesta Cinta versi baru. Judul puisinya Jika Aku Pergi Jua, Cintaku. Duh...terharu mendengarnya

Evatya Luna: Bunda memang dikenal sebagai Teroris, suka meneror orang untuk menulis.
“Dah sampai mana nulisnya, Na?”
“Waduh, berhenti dulu, saya lagi sakit, Bun.”
“Wah, sakit apa, Na?”
“Iya, nih, Bun, meriang gara-gara kehujanan.”
“Yaudah, istirahat dulu aja. Ini Bunda lagi di RSCM, ditransfusi sambil ngetik.”
Tuinggg! Bunda aja yang sakitnya berat masih tetep nulis. Sementara saya yang cuma sakit karena kehujanan kok males-malesan

Hasan Al Bana: dulu saya membayangkan yang namanya Pipiet Senja itu cewek seksi. Dari namanya kan terbayang orangnya pasti kiyut. Apalagi ada tulisannya yang berjudul Mama Sedekahkan Papa Untuk Jablay. Ternyata eh ternyata...udah nenek-nenek. (MC satu ini memang hobi banget ngerjain Manini, panggilan kesayangan cucu-cucu Teh Pipiet)











Ketika waktu sudah menunjukkan pukul 15.00, ketika jajan pasar dan nasi tumpeng di atas meja sudah tandas, saya dan Mbak Nuke pamit pulang. “Terima kasih, ya, sudah pada datang”, ucap Teh Pipiet setelah kami bercipika cipiki.



Hari ini rasanya luar biasa. Selain bisa bertemu dengan penulis senior, banyak hal tak terduga yang kami alami. Mbak Nuke bertemu dengan Bu Amalia dari Zikrul Hakim, yang ternyata mereka sangat akrab saat sama-sama tinggal di Australia. Lama lost contact, eh...malah ketemu di acara Teh Pipiet. Dan sewaktu di toilet, kami berkenalan dengan dengan Mbak Shabira Ika, dari Gema Insani. Wow, banyak orang-orang dari penerbit ternyata.


Sambil berjalan meninggalkan PDS HB Jassin, Mbak Nuke berkata, “Mbak, kapan-kapan main ke kantor Zikrul Hakim, yuk.” Ayuk, siapa yang takut. Oh, indahnya silaturrahim...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar