Rabu, 15 Oktober 2014

# jalan-jalan

Tak Ada Bun Upas, Mie Ongklok pun Jadi

Ada dua hal yang membuat kawasan pegunungan Dieng jadi trending topic di akhir bulan Agustus 2014 lalu. Yang pertama yaitu munculnya fenomena alam yang oleh masyarakat lokal disebut bun upas ( artinya embun racun). Bun upas itu biasanya muncul di musim kemarau. Suhu yang rendah di malam hari (bahkan) mencapai di bawah 0 derajat Celcius, meninggalkan sisa berupa embun kristal di pagi hari. Kehadiran embun ini tidak disukai para petani kentang, karena merusak sebagian besar tanaman mereka.

penampakan bun upas

Meski kehadiran bun upas dibenci para petani, banyak wisatawan tertarik melihat langsung fenomena alam yang langka ini. Mereka rela menginap, demi melihat kilauan ‘salju’ yang menempel di tanaman, yang berada di ketinggian di atas 2.000 meter itu. Bun upas akan menghilang seiring munculnya matahari. Asal tahu saja, fenomena ini biasanya hanya berlangsung selama 3 hari di bulan Juli atau Agustus.

Yang kedua, dengan diadakannya Dieng Culture Festival 2014 tanggal 30 dan 31 Agustus lalu. Acara seni dan budaya yang sudah rutin digelar sejak tahun 2010 kali ini lebih istimewa. Lihat saja daftar acaranya, ada kirab budaya, prosesi pemotongan rambut anak gimbal, pesta lampion dan kembang api, juga pagelaran music jazz bertajuk Simfoni Negeri di Atas Awan.

Adanya promosi dari berbagai media, membuat banyak pengunjung datang ke Dieng untuk menikmati acara itu. Sayang, saya termasuk orang yang tidak berkesempatan hadir di hari itu. Padahal saya pengin banget ke sana, menerbangkan lampion bersama-sama. Membayangkan langit malam itu pasti tampak indah bertaburan cahaya lampion.

Ketika saya mengunjungi Dieng awal September, ternyata pengunjungnya lumayan padat juga. Apa karena melihat liputan acara Dieng Culture Festival di berbagai media ya, jadi penasaran. Entah lah. Mulai dari pintu masuk area Dieng yang pertama, iring-iringan mobil seakan tak ada putusnya.

pintu masuk pertama

Dari pintu masuk pertama ke lokasi wisata Dieng ternyata memakan waktu lumayan lama, sekitar 20 menit. Kita harus melewati beberapa tikungan dan tanjakan tajam. Tapi mata kita akan terhibur dengan pemandangan di kanan kiri jalan. Perkebunan sayuran tampak rapi sedang dikerjakan para petani. Kita bisa melihat tanaman kentang, wortel, juga pohon carica, tanaman khas Dieng.

Ada beberapa lokasi wisata di kawasan Dieng. Untuk mencapai satu lokasi ke lokasi lainnya, cukup jauh. jadi harus naik mobil. Sepertinya tidak ada angkutan khusus di sekitar lokasi. Biasanya para pengunjung datang berombongan, menyewa sebuah mobil elp. Kalau datang sendiri atau berdua, ya mending naik motor aja.

Lokasi pertama yang saya datangi  adalah kawasan candi. Dari pintu masuk, kita akan bertemu dengan Candi Arjuna. Suasana yang ramai dan panas yang terik membuat saya malas mengunjungi candi lainnya (seperti candi Gatutkaca, Bima, Srikandi, Semar). Saya memilih mengisi perut yang mulai keroncongan. Pilihannya tentu saja makanan yang khas di daerah itu. Dan saya memilih mie ongklok, mie yang dicelup ke air panas bersama dengan kubis, lalu disiram kuah kental. Tambahan satenya yang masih panas pula, bikin makan siang saya terasa nikmat. Hmm…yummy!

mie ongklok yang yummy

Destinasi selanjutnya adalah Telaga Warna. Di sekitar Telaga Warna banyak sekali tempat wisata yang bisa kita pilih, ada Telaga Pengilon, ada aneka gua yang letaknya di atas bukit kecil ( gua Semar, gua Jaran, gua Sumur, dan lainnya). Di gua Semar, saya malah sempat bertemu dengan juru kuncinya yang postur tubuhnya agak tambun, pake baju beskap hitam, celana hitam, dan lilitan kain batik di pinggangnya. Hehehe…mirip ikon Semar banget, boo.

Puas melihat telaga dan gua, saya dan rombongan pindah ke kawasan kawah. Ada banyak kawah di lokasi itu, di antaranya kawah Sikidang,  Sileri, Siglagah, Candradimuka, Timbang. Di pintu masuk banyak pedagang asongan menawarkan masker. Ya, masker sekali pakai yang biasa dijual seribuan di pinggir jalanan Jakarta. Di sana dengan membayar 5.000 rupiah kita akan dapat 3 masker.

Bau belerang terasa menyengat begitu mendekati lokasi. Saya memilih duduk menunggu beberapa teman yang mendekati kawah. Ternyata, banyak yang balik kanan, “Nggak kuat, mual.” Kata seorang pedagang asongan, awalnya memang baunya bikin mual, tapi semakin mendekati kawah, nggak akan terasa lagi. Entahlah…yang pasti saya nggak kuat dengan terik matahari yang sangat menyengat siang itu.

Jalan-jalan tanpa membeli oleh-oleh tentu kurang afdol. Sebelum pulang, kami pun mengunjungi pasar sentra sayuran di tengah kota Wonosobo. Semua sayuran di sini dijual grosir, nggak ada yang eceran. Kentang ya harus 1 karung ( kira-kira 17 kg), buncis ya harus 1 karung kecil ( 5 kg). Akhirnya 1 karung kentang dan buncis pun masuk ke bus kami.

Terakhir, mampir di toko oleh-oleh yang menjual makanan kering,seperti keripik jamur, keripik paru, dan cemilan lainnya. Saya pilih carica, manisan pepaya hutan yang maknyus itu, yang kemasan mangkuk plastik. Geli kalau ingat pengalaman nggak bisa buka carica kemasan botol selai dulu, hehehe...

carica, masih mentah dan manisan
Bus pun melaju kembali ke kota Kendal tercinta. Sst…jangan ketawa ya, saya satu-satunya peserta rombongan yang mabuk * tutup muka. Perjalanan berliku melewati puluhan tikungan dan tanjakan kali ini membuat saya puas. Ya, akhirnya saya bisa sampai ke kawasan Dieng juga, setelah rencana libur Lebaran kemarin batal. Nggak bisa melihat bun upas nggak papa, minimal sudah menikmati mie ongklok langsung di kota asalnya.

Catatan: Selain foto mie ongklok, semua gambar saya ambil dari Google. Maklum, foto di HP dihapus semua demi bisa pasang Whatsapp, hiks...

2 komentar:

  1. carica seperti belimbing bentuknya ..hahaha

    BalasHapus
  2. carica itu saudaranya pepaya. bentuk pohon, daun, dan buah mirip banget. cuma rasa buahnya asem. makanya dibikin manisan...

    BalasHapus