Berita duka itu saya terima jam 9 malam. Karena
kebetulan sedang memakai gamis hitam, saya langsung berangkat ke rumah tetangga,
tanpa ganti baju lagi. Kami bertiga (saya, mbak Novi, dan Mbak Dini) segera
menuju ke ruang ICU rumah sakit, tempat jenasah disemayamkan.
Di sana telah berkumpul banyak orang mulai dari
keluarga, kerabat, tetangga, dan sahabat dari yang berduka. Hampir dua jam kami
berada di sana, karena kebetulan Mbak Dini adalah Bu RT, jadi dia sibuk telpon
sana sini mencari perempuan yang bisa memandikan jenasah. Usaha yang dilakukan
sudah maksimal, tapi ternyata tidak berhasil. Petugas yang biasa memandikan
jenasah semua berhalangan, ada yang sudah mudik, ada yang sedang tidak di
rumah.
Akhirnya jenasah, tanpa dimandikan, dibawa ke kampung
halamannya di Brebes. Saat bertemu dengan saudara-saudara almarhumah, Mbak Dini
bilang, “Yang ini wajahnya mirip dengan almarhumah, ya?” Bu Novi mengangguk.
Sementara saya hanya bilang,” Ohhh...”
Tahukah, Teman, selama tinggal di rumah dinas itu
(empat tahunan lah), saya belum pernah sekali pun bertatap muka dengan
almarhumah. Padahal rumah kami hanya berjarak 3 rumah. Duh, tetangga macam apa
saya ini. Bulan-bulan pertama, saya masih sering melihat beliau setiap pagi
berangkat mengajar. Hanya sosoknya, bukan wajahnya. Karena beliau berjalan dari
rumah masuk ke mobil, yang waktunya hanya beberapa detik.
Beberapa bulan berikutnya, tukang sayur yang mangkal
di depan rumah bercerita kalau beliau sakit kanker payudara dan sedang
menjalani pengobatan. Sejak itulah beliau benar-benar mengurung diri. Tak
pernah datang di acara arisan atau halal bihalal. Tak pernah mau ditengok oleh
kami, tetangganya. Beberapa tetangga (pengurus RT) pernah menengok beliau saat
dirawat di rumah sakit Dharmais. Saat itu kondisinya masih bisa berbicara dan
tertawa, menurut Mbak Dini yang ikut bezuk.
Astaghfirullah, ampuni hamba ya, Allah. Hamba memang
bukan tetangga yang baik. Yang tak pernah bisa menunaikan kewajiban hamba
terhadap tetangga. Saat tetangga sakit, harusnya hamba menengoknya. Tapi hamba
tak pernah melakukan itu. Dan hari ini saat beliau meninggal, untuk pertama
kalinya hamba melihat wajahnya. Meski wajah itu kini sudah dingin dan sebagian tertutup
kapas. Maafkan saya, ya. Selamat jalan, Ibu, Allah telah mengangkat penyakit
kanker yang telah menggerogoti tubuhmu selama hampir empat tahun.
Beristirahatlah dengan tenang di sisi-Nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar